Chief Executive Officer (CEO) Danantara, Rosan Perkasa Roeslani menegaskan bahwa dirinya tidak perlu mundur dari jabatannya sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi Indonesia (Bisnis.com). Keputusan Rosan Perkasa Roeslani ini mengundang perdebatan tajam. Di hadapan publik, ia menyebut bahwa kedua peran itu "saling melengkapi" dan dapat mempercepat birokrasi serta meningkatkan kepercayaan investor. Namun dari perspektif teori akuntansi keuangan dan ekonomi politik regulasi, justifikasi tersebut perlu dikaji ulang secara kritis, dengan mempertimbangkan literatur teoritis maupun temuan empiris kontemporer.
Pertama, situasi ini menampilkan persoalan klasik dalam teori keagenan (agency theory), di mana terdapat pemisahan antara pemilik modal dan pengelola sumber daya, dengan potensi konflik kepentingan yang besar. Seperti dijelaskan oleh Jensen dan Meckling (1976), agen yang memegang kekuasaan atas sumber daya namun tidak menanggung seluruh konsekuensinya cenderung memiliki insentif untuk bertindak secara oportunistik.Â
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa konfigurasi kelembagaan yang tidak memisahkan peran pengambil kebijakan dan penerima manfaat berisiko tinggi menciptakan moral hazard dan pelemahan akuntabilitas (Armstrong, Guay, & Weber, 2021).Â
Dalam konteks Rosan, rangkap jabatan menciptakan situasi di mana seorang agen (pejabat publik) dapat mengarahkan kebijakan investasi negara sekaligus mengambil manfaat langsung sebagai CEO entitas yang menerima alokasi tersebut. Ketika posisi sebagai regulator dan operator dijalankan oleh orang yang sama, maka muncul risiko melemahnya pengawasan eksternal dan distorsi insentif yang serius.
Kedua, persoalan ini juga dapat dianalisis melalui efficient contracting theory yang melihat informasi akuntansi dan tata kelola sebagai instrumen yang mendukung kontrak efisien antara para pemangku kepentingan.Â
Fondasi teori ini dikembangkan oleh Holmstrm (1979) dan Watts & Zimmerman (1986), dan kemudian diterapkan secara sistematik dalam konteks akuntansi. Mereka menekankan bahwa struktur organisasi yang baik harus mampu meminimalkan konflik kepentingan melalui pemisahan peran, pengawasan independen, dan sistem insentif yang selaras.Â
Ketika seorang pejabat publik juga mengepalai entitas privat yang mendapatkan manfaat dari kebijakan yang ia buat sendiri, maka prinsip dasar kontrak efisien tersebut dilanggar. Penelitian terbaru pun mengonfirmasi bahwa struktur kontraktual yang tumpang tindih semacam ini menurunkan kredibilitas informasi keuangan dan meningkatkan persepsi risiko dari para investor (Gao, Iliev, & Lins, 2022).
Lebih jauh, kasus ini juga relevan dibaca melalui lensa interest group theory of regulation sebagaimana diperkenalkan oleh Stigler (1971), yang menyatakan bahwa regulasi kerap menjadi arena perebutan pengaruh oleh kelompok-kelompok elite demi melindungi kepentingan mereka. Meskipun teori ini dikembangkan dalam konteks ekonomi politik klasik, validitasnya tetap tinggi dalam konteks kontemporer.Â
Penelitian empiris terbaru oleh Aobdia dan Srivastava (2023) menunjukkan bahwa perusahaan dengan akses politik cenderung memengaruhi rancangan regulasi akuntansi dan pembentukan kebijakan publik untuk memperkuat posisi pasar mereka. Dalam kerangka ini, keberadaan Rosan sebagai pejabat publik sekaligus pimpinan entitas pengelola investasi negara bukanlah sekadar kebetulan administratif, melainkan bagian dari struktur institusional yang mengaburkan batas antara regulator dan pelaku pasar.
Argumen bahwa jabatan ganda dapat mempercepat birokrasi adalah narasi teknokratis yang menyesatkan jika tidak dibarengi dengan perlindungan kelembagaan.Â
Seperti diingatkan oleh Fama dan Jensen (1983), pemisahan fungsi pengambilan keputusan dan fungsi kontrol merupakan prinsip dasar dalam sistem tata kelola organisasi yang sehat. Ketika fungsi-fungsi ini digabungkan dalam satu orang, maka lahir struktur yang rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dan kekacauan akuntabilitas.Â