Memasuki tahun 2025, pasar modal Indonesia dibuka dengan optimisme yang besar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 31 Januari 2025 mencatatkan penutupan di level 7.109, menguat 0,5 persen dalam sehari dan mencerminkan reli awal tahun yang meyakinkan. Nilai kapitalisasi pasar mencapai Rp12.319 triliun, dan investor asing masih menunjukkan minat akumulatif, dengan net buy harian sebesar Rp297 miliar. Sentimen global yang relatif stabil, dipadukan dengan ekspektasi pemulihan sektor konsumsi dan stabilitas fiskal domestik, mendorong gelombang masuk modal ke pasar ekuitas Indonesia.
Namun, euforia tersebut ternyata tidak bertahan lama. Seiring berjalannya waktu, tekanan eksternal mulai membebani psikologi pasar. Pada 28 Februari 2025, IHSG anjlok tajam hingga 3,31 persen dalam satu hari ke posisi 6.270. Ini bukan hanya koreksi teknikal, melainkan mencerminkan pergeseran sentimen yang lebih dalam.Â
Investor asing mencatatkan net sell harian sebesar Rp2,91 triliun, menambah total aksi jual mereka sepanjang tahun menjadi Rp21,9 triliun. Penurunan ini bukan hanya bersifat angka; ia juga menunjukkan bahwa investor global mulai memandang Indonesia sebagai pasar berisiko, setidaknya untuk jangka pendek.
Periode bulan Maret menandai fase erosi yang lebih sistematis. Pada 21 Maret 2025, IHSG kembali terkoreksi ke level 6.258, turun hampir 12 persen dari posisi akhir Januari. Meskipun penurunan harian lebih ringan dibanding Februari, tekanan jual asing tetap besar, dengan net sell bulanan mencapai lebih dari Rp11 triliun.Â
Aksi jual yang konsisten ini menimbulkan dua asumsi: pertama, bahwa terdapat reshuffling portofolio ke pasar yang dianggap lebih defensif; dan kedua, bahwa prospek makroekonomi domestik belum mampu mengimbangi daya saing pasar berkembang lainnya, baik dari sisi yield, pertumbuhan laba, maupun reformasi struktural.
Perilaku investor asing menjadi sorotan utama dalam dinamika ini. Di awal tahun, mereka masuk dengan antusiasme pada saham-saham blue chip seperti BBCA, BBRI, dan BMRI. Namun, pada Februari dan Maret, saham-saham yang sebelumnya diakumulasi justru menjadi sumber tekanan jual terbesar.Â
Perubahan arah ini menunjukkan bahwa aliran modal asing sangat sensitif terhadap ekspektasi global, termasuk suku bunga global, harga komoditas, dan kebijakan fiskal domestik yang dinilai belum cukup memberikan kepastian jangka panjang.Â
Pada kuartal pertama 2025, kombinasi dari tiga tekanan utama---ekspetasi penundaan pemangkasan suku bunga The Fed, pelemahan harga komoditas seperti tembaga dan emas, serta ketidakjelasan arah kebijakan fiskal dalam negeri---mendorong arus modal keluar secara bertahap namun konsisten. Ketiganya memperlemah daya tarik relatif pasar Indonesia dibandingkan emerging markets lain yang menawarkan kestabilan makro dan visibilitas kebijakan yang lebih kuat.
Di sisi lain, sektor teknologi justru tampil sebagai anomali positif. Indeks teknologi pada 21 Maret tercatat tumbuh 56,10 persen secara year-to-date, menunjukkan minat investor, terutama domestik, terhadap saham-saham spekulatif berkapitalisasi menengah. Saham seperti WIFI dan DCII mencatatkan lonjakan harga yang sangat tinggi, masing-masing tumbuh lebih dari 250 persen sejak awal tahun.Â
Sementara itu, GOTO, meskipun pertumbuhan harganya relatif moderat, menarik perhatian pasar melalui volume dan frekuensi perdagangan yang dominan. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran preferensi investor lokal ke aset berisiko tinggi dalam kondisi pasar yang secara umum menurun, yang dapat dimaknai sebagai bentuk rotasi sektor atau bahkan spekulasi jangka pendek.
Transformasi IHSG dari euforia ke erosi dalam waktu kurang dari dua bulan menunjukkan bahwa pasar modal Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh dinamika eksternal dan masih belum cukup memiliki daya tahan struktural terhadap volatilitas global. Ketergantungan pada aliran modal asing, lemahnya konsistensi kebijakan, dan volatilitas sektor keuangan menjadi tantangan utama. Untuk memperkuat fondasi pasar, kebijakan yang mendorong stabilitas fiskal, peningkatan likuiditas domestik, dan insentif bagi investor jangka panjang menjadi sangat krusial.