Mohon tunggu...
Ruslan Effendi
Ruslan Effendi Mohon Tunggu... Akuntan - Pemerhati Anggaran, Politik Ekonomi, Bahasa

Penulis pada International Journal of Public Administration

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Adakah Prinsip Kebebasan Berbicara?

22 November 2020   09:02 Diperbarui: 22 November 2020   09:18 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://www.indexoncensorship.org/

Melanjutkan cerita sebelumnya, kali ini memunculkan sebuah pertanyaan, "apakah ada prinsip kebebasan bicara?

Prinsip merupakan proposisi atau nilai yang menjadi pedoman untuk perilaku atau evaluasi. Dalam hukum, ini adalah aturan yang harus atau biasanya diikuti, atau dapat diikuti dengan keinginan, atau merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari sesuatu, seperti hukum yang diamati di alam atau cara suatu sistem dibangun. 

Jika di kampus-kampus kebebasan berbicara saja sudah dibatasi, apalagi di ruang-ruang publik lain yang lebih terbuka. Jika satu orang atau kelompok bebas berbicara, maka kebebasannya itu bisa jadi akan meniadakan kebebasan berbicara orang atau pihak lainnya. Maka akan timbul kesulitan bagaimana mengidentifikasi bahwa pihak-pihak yang berseberangan saling dianggap benar semua? 

Profesor hukum di Universitas San Diego, Larry Alexander menjelaskan:

"Jika masing-masing pihak bisa membuat keputusan yang masuk akal mengaku memakai mantel kebebasan berbicara, kita harus menyatakan bahwa tidak ada prinsip kebebasan berbicara yang umum dan bahwa label kebebasan berbicara diterapkan oleh polemik untuk kebebasan berbicara yang menegaskan nilai-nilai yang sudah dipegang oleh masing-masing piha: Ini adalah ucapan yang harus diucapkan dengan bebas tanpa batasan." 

Nah sangat sulit. Kebebasan berbicara pada akhirnya menjadi urusan politik. 

Konsep Kosong

Stanley Fish, sarjana hukum, penulis dan intelektual publik dan Profesor Tamu Terhormat di Sekolah Hukum Benjamin N. Cardozo, Universitas Yeshiva di New York City menjelaskan tentang konsep kosong ala Larry Alexander atas kebebasan berbicara.

Dalam bukunya, The first. How to think about hate speech, campus speech, religious speech, fake news, post-truth, and Donald Trump.  konsep kosong (vacuous concept). 

Artinya konsep tidak menjelaskan apa-apa. Setiap definisi bicara dan tujuan bicara akan selalu dianggap bersifat lokal, konteksnya tertentu, akan ditantang oleh pembicara berbeda. 

Penanda Kosong

Kelompok Posstrukturalis lebih sering menggunakan penanda kosong (empty signifier) atau sering juga disebut penanda mengambang (Floating signifier) atau penanda tanpa acuan baik dalam semiotika maupun nalisis wacana.

Seorang poststrukturalis, misalnya Claude Lvi-Strauss yang pertama mengonsepkan penanda kosong sebagai kecenderungan  menerima makna apapun atas makna yang tidak ada.

Bagi posstrukturalis lain, Laclau dan Mouffe menjelaskan  penanda kosong adalah penanda yang mencoba untuk mewakili kepenuhan (atau memenuhi sebuah wadah) yang tidak ada dari sebuah komunitas. Artinya, mereka adalah penanda-penanda yang mewujudkan persatuan suatu komunitas, namun  tidak akan pernah bisa tercapai sepenuhnya. 

Ernesto Laclau sendiri, dalam konsep  dalam emansipasi, membingkai penanda kosong sebagai konteks interaksi sosial. Baginya, penanda kosong adalah perwakilan hegemonik dari kumpulan berbagai tuntutan. Laclau dan Mouffe juga menjelaskan bahwa, penanda kosong adalah perwakilan hegemonik dari kumpulan berbagai tuntutan, yang merupakan rantai ekivalensi (chain of equivalences) yang anggotanya dibedakan melalui logika diferensial (seperti dalam elemen yang hanya ada dalam perbedaannya satu sama lain) tetapi bergabung melalui satu persamaan ekuivalen. 

Rantai permintaan yang tidak terpenuhi ini menciptakan totalitas yang tidak terpenuhi, di dalamnya salah satu penanda menundukkan sisanya dan mengasumsikan representasi sisanya melalui proses hegemonik. 

Bagi para Posstrukturalis juga Postmodernis, konsep penanda kosong untuk menolak penambatan (anchoring) ketat pada penanda tertentu dan menentang konsep bahwa ada arti akhir yang dapat ditentukan untuk kata atau tanda. 

Sebagai contoh, Jacques Derrida berbicara tentang "permainan bebas" penanda: dengan alasan bahwa mereka tidak terpaku pada penanda mereka tetapi menunjuk di luar diri mereka pada penanda lain dalam sebuah "rujukan penanda (signifier) yang tidak terbatas ke yang ditandai (signified). 

Demikian, semoga bermanfaat

RE

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun