Mohon tunggu...
Ruslan Effendi
Ruslan Effendi Mohon Tunggu... Akuntan - Pemerhati Anggaran, Politik Ekonomi, Bahasa

Penulis pada International Journal of Public Administration

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Ruang Rindu: Tidak Perlu Mencari Makna, Ia Sudah Ada yang Punya

21 November 2020   12:17 Diperbarui: 27 April 2021   13:46 4867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memahami penciptaan makna berdasarkan penggunaan bahasa (inaki del olmo/unsplash)

Berikut adalah sepenggal kalimat dalam lagu ruang rindu yang saya dapatkan dari channel Youtube Universitas Kehidupan.

"Ku saat itu takut mencari makna, Tumbuhkan rasa yang sesakkan dada"

Sabrang Mowo Damar Panuluh, atau yang lebih kita kenal dengan nama panggilan Noe "Letto" memberikan penjelasan atas kalimat tersebut.

Syariat itu seperti orang naik kapal, Tarekat itu seperti orang naik kapal dan mendayungnya ke tengah laut, hakikat itu seperti kamu loncat dari kapal kemudian menyelam ke kedalaman dasar laut untuk mencari mutiara. Ketika kamu sudah mendapatkan mutiaranya lalu kamu balik ke atas kapal dan kamu menemukan Makrifat. Ketika kamu sudah menemukan mutiara, itulah makna.

Dan ketika kamu sudah tahu makna, Maka tidak ada kata lain kecuali kerinduan yang menyesakkan dada.

Noe mengisyaratkan tidak perlu mencari makna, ia sudah ada yang punya. Seorang hamba dengan sendirinya akan menemukan makan ketika menjalankan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. 

Tetapi saya mencoba dari sudut pandang lain dalam penggunaan bahasa dalam penciptaan makna. Dalam penggunaan bahasa, dikenal dengan diskursus, yaitu  praktik yang tidak hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga menandakan (signifying) dunia, memberlakukan (constituting) dan mengkonstruksi dunia dalam makna. 

Dalam hubungan kekuasaan, makna didominasi oleh budaya-budaya yang dominan, terutama dari penguasa. Misalnya ketika seseorang Boss menyuruh bawahannya menegur pegawai yang tidak rajin, bawahan tadi tidak akan mencari makna apalagi memaknai. Dia sudah paham dengan sendirinya bahwa dia harus memarahi si pekerja itu. Lain lagi dengan gaya Sri mulat, "Sampeyan ki tak suruh menegur kok malah marah-marah, menegur kan supaya sampeyan itu akrab sama temenmu itu. Bilang ke, hai guys...sehat ta?" 

Tapi coba  bilang ke Boss, "sudah boss, sudah saya tegur dia, saya bilang, hai, piye kabare?" mungkin bakal ada UFO berbentuk sandal melayang diudara.

Nah..beda kan, situasi pak Bos tadi dengan situasi Srimulat. Karena didominasi kekuasaan, dalam contoh tadi bawahan mencoba mengartikulasikan kehendak atasannya, agar koheren dengan makna si penguasa. Kognisi yang membentuknya bahwa dia harus memarahi si pekerja.

Letto, penyanyi lagu Ruang Rindu (Sumber: smule.com)
Letto, penyanyi lagu Ruang Rindu (Sumber: smule.com)
Dalam studi wacana kritis, hubungan kata-kata dengan makna adalah  banyak-ke-satu (many-to-one) bukan one-to-one, jadi  ke kedua arah: kata-kata biasanya memiliki berbagai makna dan makna biasanya 'dikata-katai (worded)' dalam berbagai cara (meskipun ini lebih menyesatkan, karena kata-kata yg berbeda mengubah makna). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun