Mohon tunggu...
Cakra Arbas
Cakra Arbas Mohon Tunggu... -

https://cakraarbas.blogspot.com, Medsos: c4k124_smansa@yahoo.com, Email: c4k124@rocketmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hari ini: Aceh (4 Desember atau 20 Mei)

4 Desember 2014   23:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:02 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Oleh: Cakra Arbas, SH.I, MH.

Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan rakyat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Berbagai literatur berulang kali menegaskan bahwasanya Aceh pada suatu masa telah menjadi modal bagi Republik Indonesia, baik dari sisi ekonomi, maupun modal dari sisi kedaulatan.


Dinamika Aceh

Daratan Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang masih utuh, tidak diduduki oleh Belanda. Oleh karenanya Aceh disebut sebagai “Daerah Modal”, yang berarti daerah untuk meneruskan cita-cita perjuangan kemerdekaan yang sedang dalam ancaman penjajah. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Presiden Republik Indonesia (Soekarno), pada tanggal 16 Juni 1948 dalam rapat raksasa di Blang Padang, Banda Aceh. Berikut pernyataan Soekarno: “...Rakyat Aceh dalam sejarah dikenal sebagai pejuang yang paling gigih menentang penjajahan Belanda. Berpuluh-puluh tahun rakyat Aceh menentang kolonialisme Belanda. Sekarang giliran kita mengusir penjajah Belanda dari bumi persada tercinta ini. Dimana-mana Belanda sudah mendirikan negara boneka untuk mengepung Republik Indonesia. Sudah waktunya sekarang pemuda-pemuda Aceh yang berdarah pahlawan siap melakukan perang sabil untuk mengusir kaum penjajah dari persada ibu pertiwi tercinta. Aceh adalah daerah modal. Modal dalam meneruskan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan modal dalam perjuangan mengusir kaum penjajah dari halaman rumah kita”. (Tgk A.K. Jakobi, 1992:217-218)

Aceh sebagai daerah modal, juga dapat ditelusuri dari beberapa faktor, diantaranya: (a). Rakyat Aceh secara antusias membeli obligasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. (b). Banda Aceh (Kutaraja) juga pernah menjadi ibukota darurat Republik Indonesia. (c). Rakyat Aceh mengeluarkan dana berjumlah M$ 20.000.000,- untuk perbelanjaan Pemerintah Republik Indonesia. (d). Rakyat Aceh juga memberikan sumbangan bagi perjuangan Republik Indonesia, yaitu pembelian 2 (dua) buah pesawat terbang (pesawat itu diberi nomor registrasi RI-001 dan diberi nama “Seulawah”). (e). Rakyat Aceh juga telah menyumbangkan 5 (lima) Kg emas batangan untuk Pemerintah Republik Indonesia di waktu itu. (M. Nur El Ibrahimy, 1986:43-47 dan Nazaruddin Sjamsuddin, 1990:xi dan Hasan Saleh, 1992:114-116 dan Teuku Mohammad Ali Panglima Polim, 1996:57-68 dan Tgk. A.K. Jakobi, 1998:275-288 dan Ferry Mursydan Baldan, 2007:43 dan Tempo, 2011:60-63 dan Darmansjah Djumala, 2013:20-24)

Berbagai peristiwa tersebut telah mengindikasikan Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia pada suatu masa memiliki hubungan yang harmonis, khususnya di masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, berbagai hubungan yang harmonis tersebut berubah menjadi disharmonis, hal ini salah satunya disebabkan karena inkonsistensinya Pemerintah Republik Indonesia dalam menetapkan kebijakan untuk Aceh. Hubungan disharmonis ini dapat ditelusuri dari berbagai rangkaian “konflik” yang berlangsung di Aceh paska Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, diantaranya: (a). Perang Cumbok (periode 1945 - 1946), (b). Peristiwa Tgk. M. Daud Beure’euh (periode 1953 - 1962), (c). Peristiwa Hasan Tiro (periode 1976 – 2005).


4 Desember 1976 atau  20 Mei 1977 ?

Hubungan disharmonis yang terakhir (sampai Tahun 2005) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Aceh dipelopori oleh Hasan Tiro. Bukan rahasia umum lagi, bahwa Hasan Tiro mengambil sikap yakni pada tanggal 4 Desember 1976 memproklamirkan Aceh Merdeka. Gerakan perlawanan ini selanjutnya dikenal sebagai ASNLF (Atjeh Sumatera National Liberation Front), yang oleh rakyat Aceh lebih dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdeuka kemudian dicap oleh Pemerintah sebagai GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro) atau GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Juga selanjutnya dikenal dengan adagium “GAM (Gerakan Aceh Merdeka)”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun