Mohon tunggu...
Nurhadi
Nurhadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Sangpenyaksi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Tegakan Keadilan Walau Langit Akan Runtuh (Fiat justitia Ruat Caelum)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Terkait Dugaan Rekayasa Proses Lelang BOII Menimbulkan Perdebatan Ahli Hukum Prof Nindyo VS Yunus Husen

11 Juli 2020   01:42 Diperbarui: 11 Juli 2020   01:44 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof Nindyo guru besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM)

Jakarta -Kasus dugaan tindak pidana perbankan yang terjadi di Bank of India Indonesia, yang dahulu bernama Bank Swadesi semakin terang benderang. Bahkan semakin menguat  adanya persekongkolan jahat atau perbuatan yang dilakukan secara kolektif kolegial di perbankan yang kini 21 direksi dan pejabatnya ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Mabes Polri.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan ke persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat sebelumnya dan pada Rabu (8/7/2020) dengan terdakwa Ningsih Suciati sudah tergambar betapa rapinya permainan sampai terjadi tindak pidana perbankan yang pada akhirnya merugikan debitur Rita KK puluhan miliar rupiah.

Kasus ini berawal tahun 2008,  ketika Rita KK selaku Direksi PT Ratu Kharisma (RK) mengajukan permohonan kredit ke Bank Swadesi yang kini menjadi PT Bank of India Indonesia sebesar Rp 10,5 miliar dengan agunan senilai Rp 13,5 miliar.

Rita KK mengalami kendala  membayar cicilan. Agunan yang melonjak harganya dilelang pihak bank dengan berbagai rekayasa dan sarat permainan dengan peserta satu keluarga melalui Kantor Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Denpasar. Hasilnya, aset yang diagunkan oleh Rita berupa tanah seluas 1.520 meter persegi (M2) di daerah Seminyak, Bali, hanya laku senilai Rp 6.386.000.000 yang lantas dijual pemenang lelang Rp 8 miliar kemudian diagunkan lagi ke bank lain Rp 38 miliar lebih. Bahkan bisa lebih dari itu harga jualnya jika berdasarkan harga pasaran.

Rita KK tentu saja tidak puas dengan hasil lelang tersebut karena nilai lelang jauh di bawah nilai aset yang diagunkannya dan sangat jauh di bawah harga pasar. Rita KK melaporkan komisaris, direksi dan karyawan Bank Swadesi ke Polda Bali atas dugaan melakukan tindak pindana perbankan (tipibank). Kasus ini kemudian dilimpahkan ke Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dan menetapkan status tersangka terhadap 21 karyawan maupun direksi.

Ahli hukum perbankan Prof Nindyo menegaskan kasus dugaan tindak pidana perbankan Bank Swadesi yang kini menjadi Bank of India Indonesia (BOII) sudah diuji tindak pidana perbankannya oleh Pengadilan Negeri Denpasar Bali. Karenanya, tidak ada alasan lagi untuk mendorong pihak kepolisian atau oleh pihak manapun untuk menggugurkan status tersangka 20 orang direksi, komisaris dan pejabat BOII dengan cara menggelar kembali perkaranya di Mabes Polri.

Prof Nindyo guru besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) menyatakan hal itu menanggapi pendapat ahli hukum perbankan Yunus Husen yang meminta agar Maber Polri jangan mempidanakan perkara yang perdata. "Tidak usah diragukan hasil uji sekaligus perintah hakim Pengadilan Negeri Denpasar Bali dalam putusan praperadilan yang diajukan para tersangka dalam kasus tindak pidana perbankan yang merugikan debitur Rita KK tersebut. Pengadilan kan memerintahkan SP3 dibuka dan dilanjutkan proses hukum pidananya," ujar Nindyo, Jum'at (10/7/2020).

Terkait pendapat Yunus Husen yang menyebutkan banyak debitur nakal bermodus pura-pura kredit macet, Prof Nindyo tidak sependapat. Terbukti nilai agunan debitur Rita KK/PT RK jauh lebih tinggi dibandingkan nilai pinjaman atau kreditnya. "Kreditur malah banyak juga yang nakal," ujar Nindyo seraya mencontohkan apa yang dialami keponakannya, Istrinya menggadaikan tanah atas nama keponakannya tersebut diduga dengan memalsukan tandatangan dan lain sebagainya.

Atas berbagai pengalamannya selama ini soal kasus-kasus perbankan, Nindyo meminta Yunus Husen, polisi dan penegak hukum lainnya agar jangan menguji-uji kasus dugaan tindak pidana perbankan yang sudah begitu kuat asfek pidananya. "Asfek pidana yang kuat harus segera ditindaklanjuti dengan membawanya ke pengadilan, disidangkan. Cukup sudah obyektifitas putusan praperadilan dan petunjuk jaksa dipertaruhkan dalam persidangan di pengadilan selanjutnya," tutur Nindyo.

Tim penasihat hukum saksi korban/pelapor kasus perbankan Rita KK, Hasanuddin Nasution SH, Jacob Antolis SH,Tommy Bhail SH & Partners juga menyanggah pendapat Yunus Husen dalam gelar kembali perkara tindak pidana perbankan dengan 21 tersangka di Bank Swadesi yang kini bernama Bank of India Indonesia (BOII) di Mabes Polri, Kamis (9/7/2020).

"Yunus Husen telah berpendapat mendahului bahkan melampaui hakim. Kasus tindak pidana perbankannya sudah disidangkan satu orang, sedangkan 20 orang direksi, komisaris dan pejabat BOII lainnya sudah ditetapkan tersangka tetapi masih saja Pak Yunus minta ke polisi agar kasus perdata jangan dipidanakan. Aneh, janggal dan bertentangan dengan prosedur yang berlaku pendapat Pak Yunus tersebut," ujar Jacob Antolis SH, Jum'at (10/7/2020).

Dasar Jacob menilai pendapat Yunus Husen tersebut janggal dan aneh, karena perkara Ningsih Suciati (saat ini sudah digelar di PN Jakarta Pusat) jauh hari sudah dipraperadilankan. Oleh hakim di PN Denpasar Bali SP3 atau Surat Penghentian Penyidikan Perkara diperintahkan untuk dibuka dan dilanjutkan. Demikian pula penanganan perkara ke-20 tersangka sudah merupakan perintah hakim. "Artinya, hakim dan jaksa sudah melihat ada tindak pidana perbankan dalam kasus dugaan tindak pidana perbankan tersebut. Jaksa pula yang memberikan petunjuk hingga ke-20 orang menjadi tersangka. Kok Pak Yunus masih minta diperdatakan," ujar Jacob.

Yunus Husen dihadirkan sebagai saksi ahli perbankan oleh penyidik Bareskrim Polri dalam gelar kembali perkara kasus dugaan tindak pidana perbankan (Tipibank) di BOII. "Penyelesaian sengketa perdata harus mengedepankan perdatanya, bukan pidananya," demikian Yunus.

Dia juga memberi pandangan kepada penyidik terkait penerapan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan yang menjerat ke-20 tersangka. Yunus menilai pelanggaran yang diduga dilakukan oleh para tersangka sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut bukanlah ranah pidana melainkan kesalahan administrasi yang bisa diperbaiki melalui kesepakatan kedua pihak yang berperkara.  "Jadi pasal 49 itu tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan, tapi langkah yang diperintahkan oleh otoritas dalam hal ini BI atau OJK," kata Yunus seraya menyebutkan dalam beberapa kasus banyak bank dilaporkan secara pidana oleh debitur-debitur bermasalah. Tujuannya agar terbebas dari kewajibannya.

Menurut Jacob, Yunus Husen bukan ahli perbankan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) kasus dugaan tindak pidana perbankan di BOII baik dalam kasus Ningsih Suciati maupun ke-20 tersangka. Dengan demikian, Yunus dinilai tidak berkompeten menghadiri gelar kembali perkara tersebut.

Tidak itu saja, pasal-pasal UU Perbankan yang dirujuk Yunus dinilai Jacob juga tidak tepat sasaran. Alasannya, penetapan tersangka ke-20 orang dari BOII, dan terdakwa satu  orang yang sudah disidangkan, sebagaimana diatur dengan pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan yang terjadi sekitar dari tahun 2008 s/d 2011 secara terus menerus oleh pihak BOII/Bank Swadesi.

Menurut Jacob, Yunus Husen seharusnya justru mendorong polisi untuk memproses perkara ke-20 tersangka tersebut hingga digelar persidangannya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Polisi bukan lagi melakukan gelar-gelar perkara kembali. Apalagi sampai harus memanggil lagi OJK (karena dulu yang diperiksa orang BI) dan bagian hukum BOII. Sebab, ketika kasus tersebut terjadi OJK belum ada dan pejabat bagian hukum BOII saat ini tidak tahu menahu lagi dengan kasus tindak pidana perbankan yang menyeret 21 direksi, komisaris dan pejabat bank tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun