Mohon tunggu...
Cak Glentong
Cak Glentong Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah budaya dan agama

Pemerhati masalah budaya dan agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gadis Takut Pergi ke Sekolah Sendirian

18 Agustus 2020   23:20 Diperbarui: 19 Agustus 2020   07:58 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada suatu pagi saat matahari belum menampakan sinarnya seorang wali murid mengetuk pintu rumah guru BP/BK anaknya, tujuannya hendak menyampaikan kalau anak gadisnya sebut saja namanya Gadis, takut untuk pergi ke sekolah karena kemarin saat istirahat beberapa anak laki-laki mencoba menciumnya dengan paksa di depan teman-teman yang lain. Sekarang, ia merasa takut kalau peristiwa itu akan terulang lagi. 

Bayangan beberapa anak laki-laki hendaknya menciumnya dengan paksa menimbulkan rasa takut, sakit hati dan trauma. Gadis meminta kepada ayahnya untuk menyampaikan kepada bapak/ibu guru agar menjaga dan memastikan peristiwa itu tidak akan terulang.

Pernahkah kita mendengar cerita seperti di atas? bahkan mungkin menjadi saksi dari kejadian seperti di atas atau mungkin lebih dari sekedar usaha mencium, mungkin meraba, memeluk atau bahkan mungkin usaha memerkosa? mungkin kita juga waktu SMP termasuk anak yang badung suka iseng dan menggoda anak putri? atau mungkin kita (bagi yang wanita) anak yang menjadi korban, ketika SMP ada anak laki-laki yang iseng hendak memegang atau mencium?

Pelecehan di Sekitar Kita
Bagaimana kita menempatkan peristiwa seperti di atas? Sebagai sebuah pristiwa besar atau sekedar pristiwa biasa? menganggap sekedar keisengan anak-anak yang wajar terjadi? lalu bagaimana dengan gadis yang diteror dengan rasa takut ke sekolah? bagaimana jika gadis itu anak kita? lalu bagaimana sikap kita jika anak laki-laki yang iseng itu anak kita?

Cara masyarakat kita terhadap permasalahan Gadis bisa dibagi menjadi:
Pertama, menganggap pristiwa sebagai sebuah pristiwa yang biasa, kenakalan anak laki-laki yang sedang puber atau mungkin sekedar sok jago. Setelah berhasil mencium, dengan bangga akan bercerita ke teman-teman  saya telah mencium Gadis. Dalam pandangan mereka hanya sekedar keisengan biasa, tidak perlu dipermasalahkan.

Kedua, menganggapnya sebagai pristiwa besar karena ada beberapa unsur yang berat, yakni kriminalitas dengan bentuk, pemaksaan kehendak  yang mengakibatkan korban merasa takut. Sebuah benih kriminalitas sekecil apapun merupakan sesuatu yang berbahaya karena bisa berkembang menjadi raksasa. Penjahat besar mulai dari kejahatan kecil, terbiasa dan terlatih, kemudian menjadi penjahat besar.

Ketiga, peristiwa itu terjadi karena cara pandang jender yang salah, dimana anak gadis yang sekedar obyek seksualitas. Pendidikan di sekolah dan di lingkungan cenderung belum (atau bahkan mungkin tidak) berpihak kepada kesetaraan jender. 

Akibatnya, anak laki-laki cenderung memandang anak putri sebagai sosok yang lemah, anak laki-laki merasa mempunyai kekuatan untuk berbuat iseng sedang anak putri merasa kalah dan lemah, menerima keisengan itu sebagai kenakalan yang biasa, tidak perlu dipermasalahkan.

Gadis yang baru masuk bangku SMP kelas 1 merasakan apa yang menimpanya seperti mimpi buruk, ada rasa takut, marah, sakit hati dan sebongkah trauma. 

Memang bersamaan dengan perputaran waktu Gadis akan melupakannya, tetapi tetap ada perasaan tidak aman apalagi jika pergi sendiri, Gadis merasa butuh teman untuk menjaga dirinya, jika ke WC pada jam pelajaran aktif akan meminta temannya mendampingi atau menahan kencingnya sampai bel istirahat berbunyi. Apakah rasa takut itu dianggap sekedar pristiwa biasa?

Banyak anak yang mengalami kejadian buruk seperti Gadis, ada yang hanya menyimpannya di dalam hati karena takut untuk bercerita atau menganggapnya sebagai keisengan biasa yang tidak perlu disimpan di hati. Penulis seringkali melihat betapa banyak pelecehan seksual yang terjadi disekitar kita, karena begitu sering terjadi sehingga (sebagian sebagian dari kita) menganggap sebagai kejadian biasa.

Pelecehan bisa terjadi di bus umum yang padat penumpang, baik yang dilakukan sesama penumpang atau para awak bus,  di pasar ketika sedang padat. Dan yang paling menakutkan terjadi  di sekolah tempat yang seharusnya aman buat anak gadis untuk belajar, dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjadi pembela serta pelindung (guru). 

Banyak kejadian yang bisa dikelompokan dalam pelecehan seperti menarik tangan, memegang pantat  dan bagian tubuh yang lain, gurauan cabul, siulan, atau gerakan yang mengarah kepada sikap seksis, tetapi anehnya dianggap hal biasa.

Banyak anak putri yang merasa keberatan seseorang menyentuh bagian tubuhnya atau menarik tangannya, tetapi tidak mempunyai keberanian untuk bersikap menunjukan penolakan apalagi jika dilakukan oleh seseorang yang dihormati atau yang ditakuti. Akhirnya, dia akan menerima pelecehan itu sebagai sesuatu yang biasa, menyerah tanpa ada usaha melawan. 

Sikap pasrah yang akan mendorong terjadi pelecehan lagi dengan kadar yang lebih berat. Mereka tidak tahu cara bersikap, apalagi jika tanpa ada dukungan dari sekitarnya.

Jangan Remehkan yang Kecil
Tidak sepatutnya kita meremehkan pelecehan seksual yang sekecil apapun terjadi di lembaga pendidikan seperti sekolah, karena sekolah sebagai tempat menuntut ilmu bisa berubah menjadi tempat yang tidak aman terutama bagi anak gadis, seringkali yang besar dimulai dari pristiwa kecil, kita tidak boleh membiarkannya setidaknya ada usaha menolak, melawan atau  menampilkan sikap ketidaksetujuan.

Pertama, marilah kita mulai dari diri kita sendiri. Usahakan tangan kita bersih dari menyentuh atau memegang tubuh lawan jenis, biarpun di saat bercanda. Menjaga perkataan kita  agar tidak keluar kata-kata kotor, cabul dan seksis. 

Tanamkan dari diri kita sendiri bahwa anak gadis adalah calon ibu yang wajib dijaga kesuciannya. Seorang anak melihat orang tuanya (gurunya) memegang, menyentuh dan menarik tangan anak gadis, anak melihat dan akan menyimpulkan perbuatan itu benar, kemudian mencontohnya dengan menggabaikan perasaan anak gadis.

Rasanya tidak mungkin kita akan  mengubah orang lain, tanpa terlebih dulu mengubah diri kita sendiri. Kita tunjukan kepada anak kita yang laki-laki bagaimana bersikap santun kepada seorang wanita dan kita ajarkan kepada anak gadis kita batas yang diperbolehkan dan bagaimana cara bersikap. Orang tua seringkali tidak menunjukan kesesuaian antara perkataan dan perbuatan, seperti melarang anaknya merokok dengan keras tetapi dirinya sendiri tidak bisa berlepas diri dari kebiasaan merokok.

Kedua, mari kita mulai dari apa yang bisa kita lakukan. Memang harus disadari bahwa masalah pelecehan seksual adalah masalah yang besar, serupa dengan gunung es, tiba-tiba mengejutkan membuat kapal besarpun jadi karam. Mungkin kita harus ingat ungkapan  cara makan gajah adalah dengan sedikit demi sedikit, kalau gajah itu kita makan sedikit-sedikit akhirnya akan habis juga.

Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memulai, jangan lagi ditunda. Bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk anak gadis kita, untuk menjaga diri kita sendiri dari memberikan contoh yang buruk buat anak-anak, untuk menjaga anak laki-laki kita dari perbuatan yang rendah. Tidak ada lagi kisah Gadis yang takut pergi ke sekolah. Bukankah kita tidak ingin trauma Gadis terjadi pada anak kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun