Mohon tunggu...
Cak Bro Cak Bro
Cak Bro Cak Bro Mohon Tunggu... Administrasi - Bagian dari Butiran debu Di Bumi pertiwi

Menumpahkan barisan Kata yang muncul di Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pergeseran Nilai Budaya dan Adat Masyarakat Atas Hak Tanah Ulayat Akibat Kemajuan Ekonomi dan Pembangunan

18 April 2021   01:47 Diperbarui: 18 April 2021   01:53 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selanjutnya orang tersebut (yang mampu berkomunikasi berbahasa melayu) diangkat oleh pemerintah Belanda sebagai Kepala Suku yang bertugas untuk membicarakan masalah hak-hak ulayat adat dan membangun komunikasi dengan masyarakat papua demi kepentingan penjajahan belanda saat itu. Sejak saat itu berarti sudah terjadi pergeseran nilai atau transformasi budaya, dimana kepemimpinan masyarakat tidak lagi berdasarkan hak keturunan, namun seseorang yang mampu mengatasi permasalahan adat dengan dunia luar demi kepentingan adat dan dikenal dengan sistem kepemimpinan campuran.

Pola kepemimpinan sistem campuran tersebut berlanjut setelah jaman kemerdekaan yakni terjadinya Penentuan Pendapat rakyat atau Pepera pada tahun 1969, dimana pemerintah Indonesia dalam hal ini ingin membangun komunikasi apakah masyarakat papua ingin bergabung dengan Republik Indonesia, maka menunjuk Kepala Suku (tentu saja yang bisa berkomunikasi dengan berbahasa melayu atau Bahasa Indonesia) untuk membicarakan masalah tersebut. Kondisi tersebut terus berlanjut hingga terjadi pembentukan otonomi khusus masyarakat papua pada tahun 2001, melalui kepala suku sebagai pemimpin adat untuk membicarakan masalah pembangunan dan lainnya.

Dengan demikian sistem campuran merupakan penunjukkan pemimpin sebagai penguasa atas tanah adat karena kemampuannya bisa berkomunikasi dengan pihak luar untuk mengatasi masalah adat dan tanah ulayat mereka. Penguasa adat dalam sistem campuran tersebut mulai dikenalkan sebaga kepala suku berdasarkan orang-orang yang ditunjuk oleh kaum belanda. Transformasi atau perubahan budaya terus berlanjut setelah kemerdekaan karena perlunya tanah papua dalam pembangunan, sehingga kepala-kepala suku itulah yang dapat berkomunikasi dengan orang-orang diluar papua terutama pemerintah pusat. Seiring perubahan jaman, juga mulai terjadi pegeseran nilai buadaya karena hak atas tanah ulayat tidak lagi didasari kesucian hubungan kepemilikan dengan tanah ulayat mereka, melainkan lebih berdasarkan  kepentingan ekonomi.

  • Perbandingan Perubahan Nilai Budaya dan Orientasi Masyarakat Adat Di Daerah lainnya 

Ada baiknya kita juga mencari perbandingan, apakah pergersan nilai atas adat dan hak atas tanah ulayat juga terjadi di daerah lainnya. Dalam hal ini, penulis mencoba mengupas hasil penelitian yang dilakukan I ketut Kaler, Mahasiswa Proram Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Bali dalam artikel yang berjudul "Arti dan Fungsi tanah Adat bagi Masyarakat Bali: Studi kasus di Desa Adat batubulan" (Sunari Penjor, Vol.2 No.1, maret 2018).

Sejak dua dasawarsa yang lalu dimana terjadinya perkembangan sektor pariwisata di Bali turut menyumbang terjadinya pergeseran nilai dan budaya adat di Bali. Jika secara sepintas memang terlihat keberhasilan pemerintah Bali di bidang kemajuan perekonomian karena mempertahankan adat dan budaya Bali setempat sekaligus menjual kepada pihak luar (wisatawan) dari sektor pariwisata dan menjadi penghasilan atau Pendapatan Asli daerah (PAD) yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat disana.

Dengan memperkenalkan desa adat setempat dengan keragaman budaya maka terkait hak atas tanah ulayat adat yang semula bersifat sosio-religius mulai bergerser atau terjadi perubahan orientasi menjadi sosio-ekonomis.Pada awalnya Komunitas desa adat Batubulan secara historis memaknai tanah adat sebagai sesuatu yang bersifat sosio-religius. Hal itu tampak di dalam aktualisasi keyakinannya bahwa tanah-tanah adat yang mereka tempati dan usahakan adalah merupakan tanggung jawab terhadap keberlangsungan eksistensi desa adat utamanya keberlangsungan Pura Kahyangan Desa. Kecuali itu, tanah diyakini mempunyai roh, sehingga di setiap pekarangan rumah dibuatkan kuil yang disebut Tugu Penunggun Karang yang biasanya dibangun pada pojok arah barat laut areal rumah.

Semenjak masuknya Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) tahun 1983/1984 di desa Batubulan, maka mulai terlihat adanya gejala perubahan orientasi terhadap arti dan fungsi tanah adat. Kecuali itu, perkembangan sektor pariwisata secara tidak langsung juga turut merangsang terjadinya perubahan orientasi tersebut. Tawaran pensertifikatan tanah adat khususnya tanah persawahan melalui program Prona telah merangsang warga untuk mendaftarkan tanah yang dikelolanya. Perlu diketahui bahwa 74,3412 Ha. dari 644,00 Ha. Tanah adat telah disertifikatkan melalui jalur Prona atas nama perseorangan (Kaler, 2000: 71).

Implikasi lebih lanjut menunjukkan bahwa tanah-tanah adat yang telah bersertifikat atas nama perseorangan mulai diperlakukan secara individual termasuk menjualnya. Semakin hari kebutuhan akan tanah semakin tinggi sejalan dengan pertumbuhan dan pertambahan penduduk. Hal itu menyebabkan nilai jual tanah juga akan semakin meroket. Karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa tanah-tanah mulai diperjualbelikan kepada pihak lain dengan harapan dapat memberikan keuntungan ekonomis tinggi. Dengan demikian hasil penjualan itu akan digunakan untuk kepentingan individu dan keluarganya, sehingga prinsip salunglung sabayantaka (mempertahankan nilai historis tanah dengan leluhurnya) akan semakin memudar oleh sikap fragmatis-ekonomis.

  • Penutup

Uraian mengenai adanya perubahan orientasi atau pergeseran nilai adat budaya dan hak atas tanah ulayat adat dimasa kini memiliki dampak akibat adanya pembangunan di daerah dan kemajuan ekonomi, tidak hanya terjadi di tanah papua melainkan disemua wilayah tanah air kita. Disatu sisi berdampak positif karena pembangunan akan mensejahterakan masyarakat, namun disisi lain berdampak negatif karena adanya pembangunan akan menggeser tanah wilayah adat dan budaya yang patut dilestarikan. Dengan demikian sangatlah wajar adanya bentrokan atau friksi sosial yang terjadi dimana masyarakat adat akan mencoba untuk mempertahankan tanah adat sebagai warisan leluhurnya, namun disisi lain adanya desakan kebutuhan ekonomi telah menggeser pola pemikiran sebagian masyarakat adat setempat.

Hal ini menjadi renungan bagi para pelaku pembangunan untuk mencoba bersikap bijak dan memahami adat budaya setempat. Walau kondisi terkini sudah lebih baik dibandingkan rezim terdahulu berkaitan dengan biaya pergantian hak atas kepemilikan tanah yang semula dengan pola "ganti rugi" (bahkan dengan alasan demi kepentingan umum, ganti rugi hak atas tanah hanya dibayar minimal) menjadi pola "ganti untung" yakni harga tanah dibayar secara wajar bahkan ditambah dengan kompensasi tertentu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pertanahan yang baru.

Dengan demikian kita mulai sedikit memahami mengapa terjadi istilah palang kayu di tanah papua saat terjadi pembangunan, karena itu merupakan ungkapan simbolik protes sosial atas hak tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat disana yang sudah dilindungi oleh ketentuan pemerintah setempat. Demikian pula dengan masyarakat adat di daerah lainnya, mungkin dengan ungkapan simbolik protes sosial dalam bentuk lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun