Mohon tunggu...
M. Faishal Aminuddin
M. Faishal Aminuddin Mohon Tunggu... -

Saya lahir di Lamongan, Jawa Timur. Bekerja sebagai dosen di program studi Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya. Selain itu beraktivitas di PW Lakpesdam NU Jawa Timur sebagai korbid Riset dan Pengembangan Komunitas. Sehari-hari tinggal di mfaishal@xl.blackberry.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politrik = Politik Fiksi?

2 Agustus 2010   02:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:23 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebaiknya kita tidak memimpikan politik itu sesuatu kehidupan yang damai. DPR yang selalu punya pembenaran atas tindak tanduknya. Atau presiden yang kerap kali merasa disakiti, difitnah sehingga memilih lebih banyak diam.

Adalah sebuah hal yang menggelikan, jika ada politisi yang menganggap keruwetan sebagai sebuah situasi politik yang aneh dan cenderung tidak sehat.  Setidaknya, sebagai politisi pastilah memahami dunia politik praktis yang memang tidak diciptakan untuk aman dan damai.

Dalam situasi politik yang anomali, semestinya menjadi ajang untuk menempa kapasitas seorang pemimpin agar kelak keluar sebagai negarawan. Sikap kesatria, dalam bahasa politik adalah berani menanggung segenap resiko dan betapapun besarnya konsekuensi yang bakal dihadapi dalam pertarungan politik.

Jika seorang politisi mengeluh, maka ada dua makna yang bisa dilihat yakni dia sedang mencari simpati kepada publik yang memang mempunyai bayangan bahwa politik harus berada diwilayah justifikasi moralitas. Atau sebaliknya, dia memang putus asa yang bisa memaksanya menggunakan kekuasaan untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu dengan mengabaikan koridor kepatutan demokrasi.

Fiksi dan Intrik

Plesetan anonim yang sering kita dengar dan diyakini masih berlaku, adalah ketika kita menyebut politik sebagai politrik alias banyak intrik, tipu muslihat. Sebagai seni, politik merupakan panggung sandiwara besar yang penuh dengan berbagai karakter dan lakon. Sementara sebagai strategi, politik tidak pernah membatasi dirinya secara hitam-putih sehingga orang lebih suka meyebutnya wilayah abu-abu. Kadang tampak putih tapi sebenarnya gelap.

Demikian juga, dalam politik, sesuatu yang "nyata" bisa sangat relatif. Presiden SBY dulu pada awal ramai-ramainya century gate, bilang "politik fiksi". Fiksi dalam politik bukanlah sebuah hal yang serta merta harus disikapi dengan buruk. Boleh jadi, fiksi dibuat untuk menggambarkan keadaan yang tidak bisa disebutkan dengan lengkap dan detail karena menyangkut banyak pertimbangan. Terkait juga dengan keberadaan bukti-bukti dan konsepsi tentang sesuatu yang nyata (real) yang berbeda-beda.

Jangan anggap rendah fiksi karena banyak karya fiksi politik yang mengubah seperti The Republic yang ditulis Socrates, Candide, Ou l’Optimisme dari Voltaire, juga Fathers and Sons karya Ivan Turgenev. Mereka menuliskan sebuah situasi dari persepsi subyektif namun mengambil pola-pola, karakter, hubungan determinasi dan cita rasa dari suatu kenyataan yang pernah ada. Sebagai tambahan, mereka juga membawa orientasi, harapan dan bahkan kritikan terhadap apa yang dibayangkan pada masa yang akan datang.

Sementara karakter dekat politik, yakni intrik memang menjadi bagian cerita yang tidak pernah habis. Pihak-pihak yang berkepentingan melakukan intrik sebagai strategi yang bisa bermuara pada kebaikan dan juga keburukan.Dunia politik menyuguhkan fenomena politrik, lebih banyak cara untuk menipu dengan derajat kesulitan yang bervariasi.

Fiksi dalam politik, politik fiksi dan politrik seyogyianya mampu diterima sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dunia politik praktis. Politisi yang baik akan memilih jalan berdasarkan dengan apa yang dianggapnya penting untuk tujuan umum dan lebih besar.

Bagaimana dengan Negawaran?

Jauh-jauh hari, dalam bukunya “Statesman”, Plato mengutip dialog antara Socrates dan Theodorus. Didalamnya Socrates berkata bahwa filsuf, negarawan dan sophis membawa nilai-nilai yang sama dalam kehidupan bernegara. Tetapi yang membedakan ketiganya terletak pada cara yang ditempuh. Filsuf selalu berpikir tentang gambaran yang ideal. Mereka berpikir dalam dunianya sendiri namun untuk melihat dunia orang banyak (bingung khan?)

Para aktivis, pengamat politik dan tentu saja publik berpikir pada garis wilayah ini (moralitas) dengan kedalaman dan ketajaman yang berjenjang sesuai dengan acuan, informasi dan kapasitas pemikiran yang dimiliki oleh masing-masing personal. Dalam memahami politik, mereka begitu normatif, tidak mau dikotori oleh intrik dan sesuatu yang jauh dari kebenaran. Jadi jangan kaget juga kalau publik, hati nurani warga sangat sensitif terhadap isu-isu pembangunan gedung DPR, pagar istana dan sejenisnya.

Para politisi dan aktor medioker politik ibarat kaum sophis. Dalam kehidupan Athenean (jama Yunani kuno dulu), mereka dikenal sebagai sosok yang selalu banyak bicara, pandai berdebat, memutar balik fakta dan asumsi yang berujung pada pembenaran atas kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak ada yang namanya pengakuan atas rasa dan tindakan yang keliru dan semuanya menjadi tampak bisa diterima sebagai kebenaran dan kejujuran. Nah..ini yang sering bikin kita muak. Bisanya cuma "manis di bibir, memutar kata" seperti bait lirik lagu grup Malaysia, Exist.

Sosoknegarawan mempunyai tipikal yang selalu berusaha untuk mempertahankan keutuhan negara. Dia memberikan dedikasi berdasarkan kapasitas dan segala kemungkinan yang dia miliki untuk sesuatu yang kontruktif. Walaupun dalam proses dan perjalanannya dia harus mengakui kesalahan tanpa harus muluk meminta pengakuan atas apa yang sudah dia kerjakan untuk banyak orang. Sebuah janji adalah mantra yang tidak gampang untuk diucap dan kerja keras menjadi nafas yang mendorong semangatnya untuk mengabdi.

Negarawan adalah seorang politisi juga karena melalui proses ini dia bisa bergelayut dalam nada dan melodi kekuasaan sebagai pelaku dan pengambil keputusan. Dalam posisi sebagai politisi, dia bisa menempatkan keberpihakannya pada kebaikan semua orang dan bukan segelintir kecil kelompok dan lingkaran kekuasaannya.

Negarawan bukanlah pihak yang a-politis apalagi menjauhkan diri dari tarikan dan kepentingan pragmatis dari dunia politis. Hal ini berkebalikan dari persepsi banyak orang sehingga cenderung tidak realistis yakni melihat negarawan dalam sosoknya yang sangat mulia. Mereka diyakini lebih mirip malaikat yang tidak punya cacat politik. Tugasnya hanya mewartakan kebenaran dan memutuskan hukum dengan adil.

Padahal, sejatinya, negarawan adalah sosok yang harus bergelut dengan realitas politik yang penuh intrik, fiksi dan fakta yang kabur, manipulasi dan segenap perlakuan lainnya dimana nilai baik dan salah tidak tersekat batas demarkasi yang jelas.

Surabaya, 02 Agustus 2010.

By: M.F.A

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun