Mohon tunggu...
Cahyo Budiman
Cahyo Budiman Mohon Tunggu... Ilmuwan - Orang biasa

tukang bakso dan mie rebus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aneh, Konsumsi Naik Saat Bulan Puasa

2 September 2010   06:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:31 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menarik membaca hasil riset Retail Measurement Services Nielsen yang menyebutkan bahwa justru tingkat konsumsi atau belanja barang masyarakat merangkat naik disetiap bulan puasa dengan rata-rata kenaikan mencapai 16 persen per tahun. Ini tentu aneh, karena selama bulan Ramadhan masyarakat mengurangi pola konsumsinya karena aktivitas puasa di siang hari. Sehingga dengan adanya aktivitas tersebut, secara logika tingkat konsumsi dan belanja barang (terutama bahan makanan) menjadi turun. Jika pun ada yang berdalih bahwa bahan makanan "ditumpuk" untuk berbuka puasa, ini pun aneh untuk aktivitas Ramadhan, karena bagaimanapun QS Al A'raf:31 mengajarkan umat untuk tidak berlebihan saat makan, apalagi di bulan Ramadhan. Melihat keanehan ini pula, saya sepakat dengan Prof. Didik J Rachbinie yang mempostulasikan fenomena Paradoks Ramadhan yang ditandai dengan adanya kontradiksi antara praktik fiqih dan praktik ekonomi selama bulan Ramadhan.

Prof. Didik menengarai bahwa paradoks Ramadhan muncul akibat adanya peningkatan konsumsi kolektif di tengah masyarakat, mulai dari buka puasa bersama, sahur bersama, atau ritual sosial lainnya yang pada akhirnya mendorong peningkatan konsumsi. Tradisi ini jelas mendongkrak inflasi yang pada akhirnya mengerek harga barang menjadi tinggi. Maka Ramadhan pun, menjadi bulan pemicu kenaikan harga akibat tradisi ini. Sebenarnya bukan cuma peningkatan konsumsi bahan makanan, tetapi juga peningkatan konsumsi jasa lainnya. Bisa di cek melonjaknya penggunaan listrik di Kepulauan Riau saat bulan puasa. Ini pun bukan mustahil erat kaitannya dengan ritus sosial yang disinggung tadi.

Salah ? tidak juga.
Tapi dengan pola yang seperti ini, Ramadhan menjadi terdistorsi maknaya. Puasa seyogyanya dimaknai sebagai upaya untuk menahan aneka keinginan pada diri, baik nafsu positif seperti makan, minum, dan bersebadan dengan istri maupun nafsu negatif lainnya, termasuk diantaranya : berlebihan dalam mengkonsumsi sesuatu ! Tegas dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa berlebihan akan menyeret kita pada kemubaziran, dan hal tersebut akan menjadikan kita berkawan dengan syaitan.

Bentuk-bentuk "berlebihan" tersebut misalnya adalah munculnya menu-menu yang tidak wajar, atau jumlah makanan yang "di luar normal" hingga pada akhirnya banyak yang terbuang dan mubazir. Benar ini mungkin bagian dari respek kita terhadap bulan suci, tapi rasanya tidak elok jika dilakukan dengan cara seperti ini.

Di sisi lain, masih ada sebagian dari kita yang mengkalkulasikan kebutuhan terhadap makanan secara konyol. Dengan alasan selama puasa kita tidak mengkonsumsi apapun sejak pagi hingga petang, maka diasumsikan kebutuhan makanannya akan meningkat berlipat-lipat saat berbuka sehingga diperlukan persediaan makanan yang berlipat pula. Padahal hukum biokimia tubuh kita tidaklah demikian adanya. Kapasitas tubuh mengkonsumsi bahan makanan tetaplah normal seperti biasanya. Gen dan hormon bekerja secara kooperatif menjalankan fungsi sel agar tetap survive tanpa suplai makanan selama siang hari. Sementara energi bisa terus diambil dari deposit makanan yang kita pasok selama sahur. Tidak ada masalah dengan itu. Asupan makanan saat berbuka adalah energi baru supaya sel-sel terus survive dalam akivitas malam, bukan bentuk "kompensasi" dari aktivitas di siang hari. Dan kapasitas tubuh untuk menerima makanan tetap dalam kapasitas normal, bukan berlipat seperti dikalkulasikan sebagian pihak.

Jadi, tidak ada masalah dengan ritus sosial selama bulan Ramadhan sepanjang bentuk ritus tersebut dipagari dengan sikap yang tidak berlebihan ataupun mengkalkulasi secara "normal" kebutuhan makanan. Jika kesadaran ini kolektif, maka Ramadhan justru akan menimbulkan efek besar bari ekonomi kita dimana tingkat inflansi bisa ditekan menurun yang pada akhirnya menjaga stabilitas harga-harga bahan pokok. Ramadhan pun tidak akan hilang makna sosialnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun