Mohon tunggu...
Cucu Cahyana
Cucu Cahyana Mohon Tunggu... Administrasi - Guru Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing

Urang Sunda, Suka Baca, Bola, Biru...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Najwa Adelia Puteri

18 Februari 2012   06:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:30 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13295454511616416853

[caption id="attachment_163517" align="alignright" width="300" caption="(gambar: http://1.bp.blogspot.com)"][/caption]

“Kamu nggak usah shalat di Masjid, kita jama’ah di kamar saja".
Petang itu, kami tidak jama’ah shalat maghrib di Masjid. Hamzah teman satu asrama, kupaksa untuk jama’ah berdua di kamar. Rencananya, dia yang akan mengantarku ke Terminal Giwangan, Yogyakarta.
Hujan sejak sore hari tadi belum juga reda. Masih menyisakan rintik yang terkadang menghujan dan kemudian merintik kembali. Namun rintik petang itu menjadi bentuk lain di bibir mereka, setiap rintik menjadi lafal tasbih, tahmid dan takbir di bibir muslimin-muslimat yang khusyu' di Masjid itu. Betapa terlihat nikmat dalam pandangan mata. Mereka terlihat seirama. Satu kata, satu perbuatan. Satu hati, satu tujuan. Ingin dekat dengan-Nya. Hilang sudah pangkat dan jabatan yang melekat. Bahasa, warna kulit dan status yang tersemat sirna seketika. Semua sama kecilnya, sama rendahnya di hadapan Dia, Pengasuh manusia.

Seandainya kita merenung sejenak, dalam hal kewajiban shalat sepertinya Allah malu-malu menunjukan rasa cinta-Nya kepada hamba-Nya. Apa gerangan? Pertama, Dia memfirmankan shalat sebagai suatu pekerjaan yang wajib. Sepertinya Dia sedang memaksa manusia agar menyembah-Nya. Padahal bukankah Dia dengan jelas berfirman bahwa sedikitpun kemuliaan-Nya tak akan berkurang, secuil pun tak rugi seandainya semua makhluk-Nya tidak menyembah-Nya?. Lalu jika Dia tidak butuh dengan sujudnya manusia seperti itu, untuk apa Allah mewajibkan shalat? sepertinya banyak sekali kerugian yang akan didapatkan manusia jika meninggalkan shalat. Oleh karena-Nya ia mewajibkan shalat, agar manusia tidak merugi. Kedua, Betapa waktu shalat adalah sekali lagi tanda cinta-Nya. Apalagi bagi penuduk yang tinggal di kawasan dekat khatulistiwa, seperti Indonesia. Lihatlah rentang waktu dari satu shalat ke shalat lainnya. Bukankah merupakan saat-saat yang tepat untuk mengistirahatkan badan?.

Rentang antara shubuh dan dzuhur begitu panjang. "Maksimalkan untuk kepentingan duniamu", seolah bunyi tersiratnya seperti itu. Allah tahu manusia masih menyimpan energi yang cukup setelah di malam hari beristirahat. Semakin siang menjelang sore hingga malam hari rentang dari shalat ke shalat semakin pendek, bukankah ini sebuah rambu agar manusia adil terhadap raganya?. "Semakin sore, jika kamu masih perlu untuk duniamu, maka kamu harus sering beristirahat, karena, ragamu semakin lemah". Lalu istirahat yang bagaimana yang berkualitas? shalat. Ketiga, Shalat yang seperti rambu untuk istirahat itu hukumnya wajib. Artinya, Tuhan menginginkan agar waktu beristirahat ini diisi dengan amalan berderajat paling tinggi. Amalan yang pahalanya berlipat-lipat dibanding dengan leyeh-leyeh sambil melamun atau menggunjing si Bos yang semena-mena atau mengolok teman kerja yang pakaiannya lusuh nggak disetrika.

“Ini kunci motornya, kamu aja yang jadi driver-nya !” sambil kuberikan kunci motor, kukenakan jaket hujan warna biru. Kulihat Hamzah memakai jaket dengan warna yang sama pula.
“Siap Boss” setelah motor di starter, di cek lampu, rem, dan klakson serta kelengkapan surat-suratnya, kami pun berangkat.
]©[

Petang itu, meski hujan, jalanan cukup padat oleh duyunan kendaraan. Maklum, waktu para pegawai kantoran pulang kerja. Dan, tentunya waktu itu pula adalah giliran pedagang pecel lele, bakmi jawa, garang asam, dan nasi kucing membuka warung angkringnya.

Dalam perjalanan menuju terminal, sekali lagi aku terenung. “Rizki-Nya memang tak pernah putus, rahmat-Nya memang untuk semesta. Tak peduli tumbuhan, hewan atau manusia. Tak peduli manusia mulia atau yang lalai dan bergelimang dosa. Aku melihat kios penjual helm sudah dijejali para pembeli. Yang membuatku heran adalah fakta bahwa kios helm itu setiap hari selalu dipadati pembeli. Kutegaskan bahwa mereka adalah pembeli. Bukan pengunjung yang hanya melihat-lihat karena terpesona tetapi tak mampu membeli. Kebetulan kios helm itu tepat di depan warung pecel lele tempat aku biasa makan malam. Jadi, aku tahu betul masalah ini.

Aneh, apakah setiap hari penduduk kota ini bertambah? Apakah setiap hari penduduk kota ini ada yang membeli sepeda motor sehingga membutuhkan helm? Apakah penduduk yang tinggal dekat kios ini setiap hari kecurian helm sehingga selalu saja ada yang membeli helm ke kios ini? ataukah penduduk sekitar kios ini kaya semua sehingga ingin menghabiskan uangnya dengan mengoleksi helm?

Tiba-tiba nuraniku angkat bicara. Saat kudengarkan dengan jernih, kalimatnya mirip dengan ayat Al-Quran yang sering diulang-ulang dalam surat Al-Rahman, surat ke-55 dalam Al-Quran. “Nikmat Tuhan mana lagi yang akan kamu ingkari?”. Kepalaku mengangguk mengikuti anggukan nuraniku dan bibirku bergumam “Segala puji bagi Allah, kalau bukan karena rahmat dan cinta-Mu ya Allah, tidak mungkin setiap hari kios itu akan dipadati pembeli. Sebagaimana tidak mungkin pula bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) akan senantiasa memperoleh penumpang, jika bukan atas kasih-Mu”.
]©[

Waktu menunjukan pukul 18.25 saat aku tiba di Terminal Giwangan. Kebetulan Bus Kota jurusan Yogya-Tasikmalaya sedang bersiap-siap berangkat, beruntung aku tidak terlambat. Setelah bersalaman dan saling mendo’akan, Hamzah pamit, tak bisa menunggu hingga bus yang kunaiki meninggalkan terminal.
Aku masuk melalui pintu belakang bus. Satu, dua, tiga, empat, lima, … jok paling belakang terisi. Satu, dua… satu, dua.. kuperhatikan lagi, sampai baris ketujuh dari belakang semua sudah terisi. Satu, dua, kosong… kuterawangkan lagi lebih ke depan, sepertinya cuma kursi itu yang masih kosong.

DEG! Di sebelah kursi kosong itu…perempuan muda. Sekali lagi kuterawangkan pandangku ke depan. Barangkali penglihatanku salah, barangkali di barisan lebih ke depan lagi masih ada kursi kosong. Namun, penglihatan pertamaku tak butuh dikoreksi lagi, memang hanya kursi itu satu-satunya yang masih kosong. Tak ada yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun