Mohon tunggu...
Aji Prawinto
Aji Prawinto Mohon Tunggu... -

wong sudra pekathik, ora tau mangan sekolahan, isaku mung iki.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teman Ahok, Sang Idealis

21 Juni 2016   17:29 Diperbarui: 21 Juni 2016   17:38 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber; www.temanahok.com

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 sungguh fenomenal. Fenomenal karena, salah satu calon terkuatnya adalah sang petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang “cina”, “kristen” dan “bukan kader parpol”. Tetapi yang lebih fenomenal adalah, sejak awal Ahok menyatakan “akan maju ke pilgub melalui jalur independen”.

Banyak pihak yang berharap agar langkah Ahok bisa terwujud, bahkan bagi bukan warga DKI seperti saya. Harapan ini bukannya tanpa alasan. Jika berhasil (dan tampaknya berhasil), model ini (jalur independen) akan menjadi trend bagi pilkada-pilkada berikutnya. Pasalnya, tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini masyarakat sudah sangat muak dengan parpol, karena kelakuan para kadernya yang memalukan. Akibatnya bisa ditebak, setiap calon kepala daerah yang elektabilitasnya tinggi akan memilih jalur independen. Tidak perlu “mahar” dan (yang lebih penting) citra sebagai pemimpin yang bersih dan tidak tersandera dengan deal-deal politik yang kotor.

Tentu saja Ahok sadar sesadar-sadarnya, maju lewat jalur independen berarti harus melalui jalan terjal dan berliku, serta banyak gangguan. Keharusan mengumpulkan dukungan minimal 532.213 (lima ratus tiga puluh dua ribu dua ratus tiga belas) KTP warga DKI bukanlah pekerjaan ringan. Perlu kerja keras, dedikatif dan militan untuk mewujudkannya. Bukan hanya itu, parpol pasti tidak akan tinggal diam. Mereka pasti khawatir, masa depan parpol dalam pilkada akan suram jika calon dari jalur independen menjadi trend seperti dijelaskan dalam paragraf di atas. Isyu deparpolisasi segera berhembus dan menjadi kata yang menakutkan. Langkah-langkah antisipatif harus segera disiapkan untuk menghadang guliran bola salju yang makin lama makin membesar ini.

Dalam kondisi seperti ini, untunglah Ahok punya teman. Namanya Teman Ahok (TA). Didirikan oleh sekumpulan anak muda yang idealis, cerdas, kreatif dan militan, organisasi ini menjadi mesin yang efektif dalam mengantarkan Ahok menjadi DKI-1 melalui jalur independen. Tanpa banyak gembar-gembor, tanpa perlu konferensi pers, mereka terus bekerja, bekerja, dan bekerja. 

Hasilnya nyata. Lembar demi lembar KTP berhasil dikumpulkan melalui sejumlah booth di berbagai pusat perbelanjaan. Banyak yang kagum, tapi banyak juga yang benci. Ada yang mengatakan sebagai kafir atau antek kafir. Bahkan ada yang “kreatif” dengan mengunggah “foto Amalia” tidak menggunakan hijab.  Semuanya ditanggapi dengan diam. Tidak ada bantahan, tidak ada konferensi pers, tidak ada serangan balik. Yang ada hanya kerja, kerja dan kerja. Toh, bantahan muncul dengan sendirinya, justru dari orang lain.

Parpol juga tidak mau ketinggalan. Sebagai pihak yang terancam mengalami kerugian besar atau setidak-tidaknya “dipermalukan”, mereka berupaya untuk menjegal kinerja fantastis TA melalui jalur yang “konstitusional”; revisi UU Pilkada. Luar biasa! Revisi ini bukan hanya akan mengakibatkan kerja TA semakin sulit, bahkan “nyaris mustahil”. Sekali lagi, mereka menghadapi rintangan ini tanpa sikap cengeng. Mereka secara ksatria menghadapinya. Melalui gerakan “Cuti Sehari”, mereka menantang siapa pun yang akan menghambat laju Ahok. Mereka bekerja keras, mereka menghalau setiap rintangan, dan kini, mereka siap menghadapi verifikasi faktual. Mereka “tidak takut repot”.

Menyadari bahwa “anak-anak kemarin sore” ini tidak bisa digertak, ditakut-takuti dan diintimidasi, parpol segera berbalik haluan. Mereka berpikir, "jika tidak bisa dikalahkan, harus dirangkul". Ada parpol yang terang-terangan mendukung, dengan embel-embel “tanpa kompensasi”. Ada parpol yang baru berani memberi sinyal dukungan, sambil menunggu reaksi massa dan terutama para kadernya. 

Ada juga parpol yang “diam seribu bahasa”, tetapi berharap Ahok mendaftarkan melalui mekanisme yang ditetapkan partai. Begitulah parpol, yang kepanjangannya adalah partai politik. Artinya sekumpulan orang yang gemar dan piawai berpolitik. Politik tidak mempunyai kawan atau lawan tetap, politik tidak mementingkan idealisme, politik hanya berorientasi kepada kekuasaan (yang sering diimbuhi dengan kata-kata “demi kesejahteraan rakyat”). Untuk itu, politik harus jeli dalam melihat peluang dan kesempatan atau opportunity. Dan salah satu peluang itu ada pada sosok Ahok.

Saya sulit membayangkan Ahok yang idealis bisa bergabung dengan parpol yang oportunis. Sejarah sudah membuktikan, dia keluar dari Gerindra yang telah mengusungnya menjadi DKI-2 karena tidak adanya kesesuaian prinsip. Idealisme Ahok tidak bisa menerima kenyataan bahwa kendaraan politiknya mendukung pengebirian kedaulatan rakyat. Idealisme Ahok melakukan pemberontakan kepada parpol yang tidak membela kepentingan rakyat. Idealisme Ahok rela berjuang tanpa parpol, karena yakin seyakin-yakinnya rakyat berada penuh di belakangnya.

Idealisme Ahok ini pula lah yang memberikan kekuatan dan semangat militansi Teman Ahok. Sejak awal, mereka mendeklarasikan “Ahok Independen 2017”. Berbagai produk dengan slogan itu konon telah terjual dengan nilai yang sangat fantastis. Di waktu bersamaan, proses pengumpulan KTP dukungan berjalan lancar. Sangat lancar bahkan. Dan target satu juta KTP sudah terlampaui. Sebuah prestasi yang luar biasa, dari anak-anak muda tanpa pengalaman yang bekerja tanpa pamrih dan tidak dibayar. Prestasi yang hanya bisa dicapai dengan kerja keras, ikhlas dan militan. Dan semua itu dilakukan hanya demi sebuah kata; IDEALISME.

Idealisme berbeda dengan oportunisme, idealisme berbeda dengan pragmatisme, idealisme berbeda dengan kompromisme. Idealisme berjalan lurus, tidak berbelok-belok dan tidak menoleh ke kanan-kiri mencari jalan yang mudah. Idealisme tidak akan mencari jalan tol, jika diyakini di sana banyak pungli. Idealisme akan berkata lantang, “Saya akan melewati jalan ini, apa pun risikonya!” Ahok dan Teman Ahok adalah representasi idealisme itu. Saya yakin, sekarang pun masih seperti itu. Bukan masalah bahwa TA “sudah merelakan”, juga bukan masalah “melalui jalur apa pun tetap menang”. Ini masalah idealisme. Ini masalah integritas seorang pemimpin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun