Mohon tunggu...
Aji Prawinto
Aji Prawinto Mohon Tunggu... -

wong sudra pekathik, ora tau mangan sekolahan, isaku mung iki.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika (Sebagian) Kompasioner Tidak (Lagi) Berbahasa Kompas

2 Juni 2016   00:09 Diperbarui: 2 Juni 2016   00:12 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak mulai bisa membaca dengan lancar, saya sudah terbiasa membaca Harian Kompas karena ayah saya hanya berlangganan koran itu. Karena kebiasaan itu, saya menganggap bahwa Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah seperti yang digunakan Kompas, dan prinsip jurnalisme yang baik dan benar adalah seperti yang dilaporkan Kompas. Sedemikian “fanatiknya” saya dengan Kompas, sampai-sampai ketika tulisan saya dimuat di majalah kampus tempat saya kuliah, beberapa teman berkomentar bahwa bahasa saya “terlalu Kompas” dan tidak sesuai dengan gaya bahasa majalah yang “berbau Tempo”. Saya ingin sekali menulis dan bisa dimuat di Harian Kompas, tetapi tidak kesampaian. Akhirnya saya hanya bisa “menikmati” tulisan Kompas, tanpa ikut berpartisipasi.

Karena itulah, ketika mengetahui ada forum pembaca yang bertajuk Kompasiana (yang serta-merta saya asosiasikan dengan Harian Kompas), saya sangat antusias untuk bergabung dengan harapan bukan hanya menikmati tulisan, tetapi juga menuntaskan keinginan agar bisa ikut menulis dan dibaca oleh pembaca Kompas. Saya yakin, tujuan disediakannya forum ini adalah dalam rangka memberikan kesempatan bagi masyarakat (baca: pembaca Kompas) untuk menyalurkan bakatnya dalam menulis sekaligus media untuk mendiskusikan isyu-isyu terkini tentang hal-hal yang sedang menjadi perhatian masyarakat. Saya beranggapan (dan berharap) bahwa tulisan-tulisan yang dimuat “berbahasa” dan “berjunalisme” seperti Kompas. Saya membayangkan akan membaca artikel-artikel bernas dengan analisis tajam sebagaimana tulisan Ninok Leksono atau Valens Doy.

Alhamdulillah, sebagian besar yang sudah saya baca memang sesuai dengan anggapan (dan harapan) saya di atas. Banyak sekali tulisan berisi reportase, laporan ilmiah, essay, bahkan fiksi dan puisi yang sangat berbobot dan saya kagumi. Seringkali, di sela-sela aktifitas rutin di kantor, saya harus mencuri-curi kesempatan agar bisa membaca tulisan-tulisan di Kompasiana. Dalam kondisi lelah dan muak karena setiap hari disodori berita-berita yang sebagian besar negatif dan diekspos secara berlebihan, Kompasiana telah berhasil menyediakan bahan bacaan yang bermutu, meski pun ditulis oleh orang-orang “amatir” yang kebetulan mempunyai kegemaran dan kemampuan menulis.

Sayangnya, tidak semua tulisan berkualifikasi seperti itu. Ada sebagian kecil yang (maaf) mencederai prinsip kebebasan pers yang bertanggungjawab, khususnya tulisan-tulisan mengenai Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (saya tidak menyebutkan Ahok, karena menurut saya sebutan itu “bukan bahasa Kompas”). Meski pun jumlahnya tidak banyak, tetapi tulisan-tulisan itu sering menjadi headline karena selalu mendapatkan tanggapan yang gegap gempita. Membaca tulisan-tulisan (dan terutama tanggapannya) tersebut membuat saya merasa ngenes. Para ahoker dan hater terlibat saling serang, saling hujat, saling umpat dengan bahasa yang sangat menonjolkan sikap permusuhan dan kebencian. Analisis permasalahan yang disajikan (meski pun kadang-kadang menggunakan metodologi ilmiah) sangat tendensius, mudah sekali ditebak seperti apa kesimpulannya hanya dengan mengetahui siapa yang menulis. Bahkan lembaga sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi dan Majalah Tempo juga dihujat habis-habisan, karena dianggap dengan sengaja berpihak ke salah satu kubu. Tanggapan-tanggapanya lebih mengerikan lagi. Kata-kata kotor dan vulgar dilontarkan dengan ringan dan tanpa beban, seakan-akan bangsa ini tidak bersila “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Bahkan admin (maaf) saya nilai juga tidak terlalu berhasil (untuk tidak mengatakan gagal) dalam menjalankan fungsinya sebagai moderator sekaligus filter yang bertugas menjaga agar media ini tetap menjadi forum yang netral, berbudaya dan toleran.

Saya bukan penduduk DKI Jakarta, jadi tidak punya hak untuk ikut dalam pememilihan gubernur yang akan datang. Tapi karena setiap hari harus “mencari makan” di Jakarta, saya juga punya pandangan, pendapat dan harapan tentang sosok gubernur yang akan dipilih. Saya sering membicarakan tentang sosok ideal Gubernur DKI dengan teman-teman yang sama-sama “tidak punya hak pilih” tetapi “punya kepentingan”. Kami berdebat dan berargumen tentang pandangan dan pilihan yang berbeda, tetapi hanya sampai di situ. Kami tidak saling memaki, tidak saling melecehkan dan tidak saling membenci satu sama lain. Karena itu, saya sungguh tidak habis pikir saat menyaksikan begitu brutal dan kasarnya pertarungan di Kompasiana antara pihak-pihak yang tidak sepaham. Saya tidak dalam posisi untuk berpihak ke salah satu kubu. Karena itu, saya ingin memastikan bahwa pembaca paham yang saya kritik adalah KEDUA BELAH PIHAK.

Kebebasan berpendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Forum ini adalah media untuk terwujudnya hak itu. Tugas kita bersama, para kompasioner, untuk memelihara media ini agar tidak menjadi arena pelepas syahwat primitif manusia yang gemar saling menyakiti dan saling membunuh. Sudah saatnya kita menyadari, bahwa sikap saling menghormati dan menghargai jauh lebih mulia dibandingkan saling mencaci dan memusuhi. Perbedaan pendapat itu wajar, karena memang seperti itulah fitrah manusia. Tetapi jangan hanya karena kita berbeda pendapat (dan pilihan), menjadikan kita kehilangan akal sehat dan lebih memilih sikap-sikap yang tidak baik.

Melalui tulisan perdana ini, saya mengajak semua kompasioner untuk menghentikan permusuhan dan menggantikannya dengan adu argumen yang sopan, realistis dan beradab. Menggunakan istilah saya, marilah kita menulis dengan “bahasa dan jurnalisme Kompas”.

Ciangsana, Kamis Pon 2 Juni 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun