Mohon tunggu...
Komalasari Mulyono
Komalasari Mulyono Mohon Tunggu... lainnya -

F

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kujual Cah Bagusku Kepada Nafsu Sakral ( 2 )

20 September 2011   06:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:48 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kisah Pertama 2. Ribet Ketika Kaya Kutata kayu bakar untuk keperluan memasak di pawon (dapur). Kupilah-pilah mana yang masih kering atau basah. Rumahku berubah setelah 2 tahun berjalan, sejak kepergian Kresna. Sebagian dinding rumah telah menjadi tembok. Lantai tanah rumahku telah berubah menjadi semen. Sapi-sapi pemberian warok Singo, beranak pinak dengan pesat. Sebuah perubahan hidup yang menyanjung keluargaku. Hidupku makin baik karena aku selalu memegang teguh petuah orangtuaku yang didapat dari mbahku dan buyut-buyutku. Nrimo marang pandum (menerima pada pembagian yang digariskan nasib) , sebuah petuah sakti yang terus kuyakini sampai mati. Karena khasiatnya sering terbukti. “Kulonuwun (permisi) “, sebuah suara perempuan dari ruang depan. Suara yang membuatku berdecak kelu. Aku bergegas menemuinya. “Yu Mistun, nasi tiwul dan sayur terong untukmu”, kata wanita tetangga sebelah rumahku sambil menyerahkan dua mangkok kesukaanku. “ Matursuwun yu “, kuletakkan mangkok-mangkok itu di atas meja kayu yang dikelilingi kursi rotan baruku. Kupersilahkan dia duduk. “Bagaimana kabar Kresna?”, tanyanya dengan nada ingin tahu. “ Belum tahu “, jawabku dingin. Sebuah keramahan semu. Aku tahu kebiasaan yu Darwati dan kelompok rasan-rasannya. Paling ramai kalau membicarakan kejelekan orang. “ Kok ya keterlaluan sekali warok Singo, tega-teganya berbuat jahat kepadamu yang baik hati”, katanya memancing berita buruk tentangku. “ Yu Dar, kalau tidak tahu masalahnya diam saja “, jawabku yang ditanggapi dengan gaya tersipu-sipu. “Maaf yu …anu…”. Sikapnya benar-benar membuatku tak suka. “Anu apa?. Aku banyak pekerjaan belum beres di pawon “. Sebuah isyarat mengusir, kugantungkan di kalimatku ini. Pada wajahnya terbersit kejengkelan. “Yu, aku pinjam uang lagi boleh?. Bulan depan sama yang dulu pasti kulunasi”. “Yu Dar, orang itu yang digugu (dipercaya) omongannya. Omongan sampeyan itu ternyata susah kugugu”, jawabku yang tetap ditanggapi olehnya dengan gaya tersipu-sipu. “Aduh yu, Keadaan belum punya uang mau bagaimana lagi. Ditambah bapaknya anak-anak sekarang di rumah terus”. Semakin lama aku menyerang Darwati, semakin kuat juga dia bertahan. Silih berganti tetangga-tetanggaku sejenis yu Dar selalu datang mengganggu ketentraman keluargaku. Ternyata menjadi orang kaya di kampungku lebih ribet daripada menjadi orang miskin. “Dia datang, nanti siapa lagi yang datang ya mbok?”, gumam anak bungsuku, Mini, yang baru pulang dari sekolah. “ Ndak tahu nduk, ingat saja, orang kaya semakin banyak memberi semakin kaya “, kataku sembari mengajarkan kebijaksanaan kepadanya. “ Mbok, lama-lama harta kita bisa habis kalau menuruti mereka “, kata bocah perempuan ini tanpa beban. Astaga, wajah mungilnya makin hari makin cantik. Mirip Kresna. Ditambah sifatnya yang tak mudah percaya mengantarkan ingatanku pada sulungku . Kini di Jakarta sebelah mana, tak pernah kutahu. “ Aku ingin melihat tuyul peliharaan mbok”. Aku tak kaget dengan pernyataannya ini. Mungkin bocah ini sedikit terpengaruh dengan bisik-bisik di luar sana. “ Tuyul apa nduk?’, tanyaku. “ Kata yu Dar dan konco-konconya , mbok bisa kaya karena memelihara tuyul”. Orang-orang itu kelihatan tak nyaman dengan kebahagiaan rumah tanggaku. Bantuan cuma-cuma sering kuberikan. Piutang mereka padaku yang sengaja dilupakan banyak, datang kembali memohon bantuan. Mungkin benar adanya salah satu petuah dari mbahku, “ orang yang benci kepada kita lebih banyak daripada orang yang suka kepada kita “. Benar-benar terjadi menimpaku. “Mereka hanya iri, biarkan saja. Kamu tak pernah berjumpa dengan tuyul peliharaan mbok bukan ?”. Mini hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Pagi yang dingin, kedengar gerimis turun, aroma tanah basahpun menyeruak segar. Aku terbangun, lalu seperti biasa menuju pancuran untuk mandi. Kulihat kang Su sibuk menimba air, rintik gerimis tak dihiraukannya. Demi sapi-sapi yang telah beranak pinak. Begitu telaten dia memberi makan , membersihan kandang dan memandikannya di sendang desa. Setelah mandi, kusapu halaman belakang rumah. Ah, di sini dulu kulihat Kresna bermain perang-perangan bersama teman-temannya menggunakan batang daun pisang. Berteriak ribut. Dia selalu menang. " Tun! ". Aku terkejut dengan kemunculan kang Su yang mendadak. Wajah hitamnya telah berubah menjadi abu-abu. " Sapi kita mati semua, diracun orang ", Aku menjerit seketika menerima kabar mengerikan dari kang Su. Menangis keras sekuat tenagaku. Kedua putriku terbangun. Satu persatu tetanggaku berdatangan. Ada yang ikut menangis, ada yang menghibur dan ada yang sekedar berdiri memandang musibah yang tengah menimpa keluargaku. " Apa salahku pada orang yang meracuni sapi-sapiku, iri ya iri, tapi mengapa menjadi kejam begini huaaaa huaaaa", ratapku dipelukan seorang wanita setengah baya. Bersambung @@@@@ Buruknya Sedekah dan Bahaya Kebiasaan Utang [caption id="attachment_136074" align="alignright" width="300" caption="indonetwork.co.id"][/caption] Lebih baik memberi daripada menerima. Berlaku untuk siapa?. Menurut pengalaman saya hanya berlaku bagi orang yang mempunyai harga diri. Orang kaya harta belum tentu melaksanakannya. Seringkali, ketika ada pembagian bantuan dari lembaga swasta maupun negara, yang ditujukan untuk orang miskin, banyak orang berkecukupan mengaku miskin. Betapa jumlah orang suka menerima, lebih banyak daripada yang suka memberi kiranya. Tempat saya dibesarkan menganut kepercayaan , bahwa, setiap orang kaya diwajibkan dermawan dengan bersedekah. Supaya hartanya bertambah. Kalau tidak mau bersedekah disebut kikir, menjadi penghuni neraka. Si miskin gembira sesaat menerima bantuan sedekah. Setelah sedekah habis berangan-angan mendapat rejeki dari Tuhan, Karena Tuhan Maha pemberi pasti memberi. Entah kapan. Hal ini mereka sangat percaya. Ketika bantuan dari Tuhan tak kunjung datang, demi menyambung hidup, mereka mencari utang kesana kemari. Tak peduli mampu melunasi atau tidak. Masyarakat umum telah tewas kreatifitasnya gara-gara sedekah materi. Melahirkan rasa tak berdaya. Berujung pada curiga dan dengki. Cara bersedekah perlu diperbarui. Ketika menemukan rekannya yang miskin berangsur-angsur kaya, segala usaha dilakukan untuk mengembalikan rekan berhasil ini menjadi miskin kembali. Mulai dari fitnah sampai perusakan. Banyak terjadi. Menjadi salah satu sumber mengapa negeri ini kesulitan maju. Salam NK. Sari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun