Mohon tunggu...
Dian Cahyani
Dian Cahyani Mohon Tunggu... Belum punya profesi tetap. -

Lakukan Aksi, Perkaya Diksi, Ungkap melalui Narasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pernikahan Dini, potensi Buta Administrasi

8 Oktober 2018   16:56 Diperbarui: 8 Oktober 2018   16:58 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena pernikahan dini di Indonesia bukanlah hal yang baru. Angka pelaku pernikahan dini masih menduduki jumlah yang fantastis. Banyak factor yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan dini. Beberapa diantaranya; tradisi atau adat, kondisi sosial, kwalitas SDM dan masalah ekonomi. Salah satunya terjadi di Ledokombo.

Ledokombo merupakan kawasan pinggiran Jember yang berbatasan langsung dengan Bondowoso dan Banyuwangi. Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah populasi penduduk di Ledokombo juga mengalami kenaikan kwantitas dan kwalitas. Banyak factor yang menyebabkannya. Namun, ironisnya perilaku pernikahan dini tidak mengalami penuruanan jumlahnya. Sekretaris desa mengungkapkan, jumlah penduduk yang melakukan pernikahan dini jika di presentase kan mungkin akan mencapai 70% dari seluruh jumlah penduduk dalam satu dusun. Hal demikian pun ditegaskan oleh empat kepala RT yang menyebar di lima padukuhan.

Para remaja setempat usai menamatkan diri di lembaga pendidikan Sekolah Dasar, notabenenya akan mengenyam pendidikan pesantren. Tidak ada patokan berapa tahun lamanya untuk mereka menempuh pendidikan tersebut. Biasanya, mereka akan pulang dan menikah dalam jangka waktu kurang dari tiga tahun di pesantren. Seolah, pendidikan pesantren yang mereka enyam adalah bentuk formalitas budaya belaka.

Mayoritas diantaranya terjadi akibat perjodohan para orang tua, hanya sebagian kecil saja atas permintaan para anak. Banyak diantara anak- anak yang dinikahkan masih berumur dibahwah 18 tahun. Sehingga pernikahan dianggap tidak sah secara hokum negara. Pasalnya, mereka masih belum memiliki KTP. Sehingga pernikahan tersebut hanya mendapat legitimasi dari agama. bisa dibilang pernikahan tersebut tergolong dalam pernikahan siri. 

Pasanganpun tidak mendapat buku nikah. Sehingga ngara tidak mengakui bahwa mereka merupakan pasangan suami isteri. Pemerintah desa tidak bisa mendampingi untuk proses pembuatan Kartu Keluarga. Mereka pun tidak memiliki hak untuk memiliki Kartu Kerluarga, yang menjadi identitas dasar kekeluargaan yang mereka bangun.  

Lebih lanjut, mereka tidak bisa merasakan fasilitas- fasilitas negara atau dana negara yang dialokasikan sebagai bantuan. Karena mereka tidak meiliki data dasar administrasi kependudukan. Inilah  dampak pernikahan dini yang akan menjadi masalah di kemudian hari, yang tidak banyak menjadi pertimbangan oleh para orang tua ketika menjodohkan anak- anaknya, atau ketika memberikan persetujuan anaknya untuk menikah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun