Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kartini Sang Pemberontak

4 Mei 2021   00:56 Diperbarui: 4 Mei 2021   01:25 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Albert Camus (1913-1960) menyatakan bahwa pemberontak adalah seseorang yang berkata tidak, tetapi penolakannya tidak termasuk suatu penolakan diri. Ia juga adalah seorang yang sudah bilang ya, sejak ia menampilkan gelagat pertamanya untuk memberontak. Seorang budak yang selama hidupnya menerima perintah, tiba-tiba memutuskan bahwa ia tak dapat lagi mematuhi perintah baru. Apa artinya bila ia bilang "tidak"? Lebih jauh, Camus memberikan contoh bahwa seorang pemberontak berpikir bahwa "hal itu sudah berjalan terlalu lama", "sampai pada titik ini adalah ya, selanjutnya tidak", "kau telah berjalan terlalu jauh," atau, lagi, "ada batas di mana kau tidak akan pergi".[1]

Karakter pemberontak melekat dalam gagasan-gagasan Kartini. Kartini adalah seseorang yang berkata tidak pada kuasa patriarki[2], feodalisme, dan konolialisme. Ia memberikan gagasan bahwa marginalisasi[3] perempuan dari ketiga kuasa itu sudah terlalu lama berlangsung dan selanjutnya tidak. Artinya, marginalisasi perempuan harus segera dihentikan. Dengan melihat adanya spirit pemberontakan Kartini pada kuasa patriarki, feodalisme, dan kolonialisme, yang subjek utamanya adalah relasi perempuan dalam realitas sosial, maka gagasan-gagasan Kartini merupakan gagasan-gagasan feminis.

Pemberontak sedari awal menolak untuk membiarkan orang lain menyentuh siapa dirinya serta berjuang untuk integritas sebagai bagian dari dirinya. Sikap tersebut memiliki spirit yang sama dengan para feminis yang memberontak agar tidak lagi disentuh oleh hegemoni, teruatama, logika dominasi patriarkal---orang lain. Feminisme tidak salah lagi merupakan gagasan pemberontakan. Sebuah kehendak untuk memegang kendali otoritas diri.

Hakikat feminisme adalah perlawanan, anti, dan bebas dari penindasan, dominasi, hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan terutama yang terjadi pada perempuan. Feminisme, meskipun memiliki banyak bentuk, intisarinya adalah suatu prinsip bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan selalu diwarnai ketidakadilan dan penindasan yang kebanyakan terjadi pada perempuan. Semua bentuk feminisme berusaha untuk melakukan identifikasi penyebab ketidakadilan itu dan berusaha mengatasinya di mana itu tentang siapa atau apa yang sebenarnya memproduksi dan mereproduksi hal itu menjadi salah satu perbedaan di antara para feminis.[4]

"Suatu perobahan dalam seluruh masyarakat pribumi pasti akan datang. Titik tolaknya telah ditakdirkan. Hanya... kapan? Itulah pertanyaan yang besar. Kita tidak dapat mempercepat saat meletusnya revolusi. Sungguh aneh bahwa di pelosok daerah pedalaman yang terpencil ini mengendap pikiran-pikiran memberontak itu. Teman-teman kami di sini mengatakan, sebaiknya kami tidur saja dahulu barang 100 tahun---kalau kami bangun kembali, akan kami temukan tanah Jawa sebagai yang kami inginkan."[5]

Seperti yang sudah diulas di atas, sekurang-kurangnya Kartini memberontak pada marginalisasi perempuan. Kartini mengatakan tidak---atau memberontak---kepada tiga "kejahatan berukuran raksasa", yaitu: (1) patriarki, (2) feodalisme, dan (3) kolonialisme.

Pemberontakan Kartini pada Patriarki

Perjuangan utama feminisme mendobrak pola berpikir dan cara pandang yang hanya satu, homogen, umum, universal, dan baku. Perjuangan utama feminisme adalah meyakinkan manusia modern bahwa ada beragam cara pandang, cara berpikir, dan cara berada. Harus diakui adanya entitas berbeda, ada keragaman dalam hidup ini, dan berarti ada pula nilai berbeda. Dunia manusia bukan hanya dunia laki-laki, tapi ada dunia yang lain, dunia perempuan.[6]

Perspektif ini yang menyebabkan feminisme dianggap sebagai sebuah teori atau aliran pemikiran yang subversif dan revolusioner. Subversif dalam arti merongrong, mengganggu, dan menggugat cara pandang, bahkan nilai, yang umum diterima dan berlaku. Dan dalam arti itu juga duanggap revolusioner. Namun, revolusi yang dibawa oleh feminisme tidak pertama-tama menyangkut perubahan revolusioner atas sistem ekonomi dan politik, yang meminggirkan dan menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan. Revolusi feminisme terutama menyangkut perubahan radikal cara pandang laten yang diterima secara umum dan begitu saja sebagai benar, yaitu cara pandang laki-laki dan juga berarti moralitas dan perilaku laki-laki yang dipengaruhi cara pandang tadi.[7]

"Seorang gadis Jawa adalah sebutir permata. Pendiam, tak bergerak-gerak seperti boneka kayu; bicara hanya bila benar-benar perlu dengan suara berbisik, sampai semut pun tak sanggup mendengarnya; berjalan setindak demi setindak seperti siput; tertawa tanpa suara, tanpa membuka bibir; sungguh buruk nian kalau giginya tampak seperti luwak."[8]

Surat ini merupakan sebuah satire. Kartini menggambarkan karakteristik perempuan ideal di dalam kebudayaan Jawa pada waktu itu yang dilanggengkan oleh pakem feodalisme. Perempuan sekadar masyarakat kelas dua, yang segala tingkah lakunya didominasi oleh nilai-nilai patriarkal-feodalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun