Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu *)

30 Desember 2019   23:44 Diperbarui: 30 Desember 2019   23:59 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

       Langit bisu, untunglah manusia bisa berbicara, berbunyi, bernyanyi. Meski langit boleh jadi berbicara dengan caranya, berbunyi dengan caranya, bernyanyi dengan caranya, tetap saja tak bisa kusimak secara lengkap. Langit hanya begitu rupa, luas lagi sunyi-senyap. Demikianlah kurasakan.

       Langkah-langkah beranak-pinak bersama waktu yang bergegas maju. Tak bisa kupahami kenapa waktu tak pernah menepi barang sejenak. Apa ia tak lelah terus bergerak? Apakah ia tak bosan terus bergulir? Ah, alangkah teguhnya waktu. Ia bergerak dan bergulir tanpa pernah kenal waktu. Tentu saja, sebab ia adalah waktu.

       Aku terlahir untuk mencicipi kopi, setelah itu kukira tugasku dalam hidup bisa dikatakan selesai. Setidaknya, itu yang dulu kupikirkan. Waktu bergerak, waktu bergulir, manusia kian berubah. Aku bukan lagi pemuda, aku bukan lagi orang yang berpikir terlahir untuk mencicipi kopi dan setelah itu tugasku dalam hidup bisa dikatakan selesai. Seolah begitu tiba-tiba saja, aku bekerja di sebuah lembaga. Tak perlu kuceritakan lembaga apa itu, yang jelas karena bekerja di sanalah aku bisa mendapat tugas di sini. Setelah bekerja seharian mencatat angka-angka---tak perlu kuceritakan angka apa yang kucatat---aku merebahkan diri di kafe Boshwezen dengan cahaya sepia yang remang, dibalut ritme Where We Used to Live dari Esbjörn Svensson Trio yang teramat pekat.

       Kukira, di awal mula kehidupanku, manusia bisa berbicara, berbunyi, dan bernyanyi. Setidaknya dulu aku mengetahui bahwa hal ini benar adanya. Kemudian setelah bertahun-tahun aku hidup bersama angka-angka, kudapati manusia-manusia di sekitarku mulai kehilangan semua itu. Mereka tak lagi berbicara, berbunyi, dan bernyanyi. Mereka semua memang bergerak seperti biasa, bergerak seperti waktu---tak pernah menepi barang sejenak. Namun, mereka kini bisu, bisu yang benar-benar bisu, meski aku tak tahu pasti bagaimana bisu yang benar-benar bisu dan bisu yang tidak benar-benar bisu itu. Kubaca sebuah koran yang tersedia di rak pojok kafe ini. Seperti koran lama. Kulihat tahunnya, astaga, tahun 2019. Aku lupa kapan terakhir kali benar-benar memerhatikan tahun-tahun yang berlalu dalam hidup. Kukira tahun-tahun berjalan seadanya, tanpa hal-hal penting yang ia bawa. Tahun-tahun berganti terus-menerus sejak angka belum ditemukan hingga angka telah ditemukan dan pertama kali digunakan dalam sebuah kalender Masehi yang terhitung sudah berganti sekitar 2019 kali. Bukankah sudah sangat banyak tahun yang berlalu? Apa saja kiranya yang penting dari sekian banyak waktu yang telah lewat tersebut?

       Aku menimbang-nimbang kemungkinan kenapa manusia-manusia kini membisu, dan kenapa koran yang kubaca masih menyediakan teks-teks yang kukira tak lain dan tak bukan merupakan salah satu jenis bahasa. Tapi kecelakaan berpikirku di awal adalah, langit pun berbahasa, dan manusia di sekitarku kini bukan tak berbahasa. Mereka hanya tak lagi berbicara, berbunyi, dan bernyanyi. Suatu bahasa yang bergetar, suatu bahasa yang menggetarkan. Bahasa yang digubah oleh pikiran dan perasaan untuk disampaikan dengan sebaik-baiknya keadaan.

       Kukira seorang seperti kamu, yang kelak kukenal sebagai seorang violinis bisu dan tuli, tidak pernah ada di dunia ini, dunia yang bukan merupakan ruang ramah untuk seorang yang bisu dan tuli. Abad-abad berlalu, peradaban-peradaban berubah, sejarah tumpuk-menumpuk. Kukira dunia yang bisu bukanlah sebuah dunia. Sebelum bertemu denganmu, setidaknya, itulah yang kupikirkan. Sampai pada suatu malam yang redup, yang pijar cahaya sepia remang itu menembus gulita dalam jiwa manusia-manusia, kamu berdiri di bawah sebuah pohon yang kukira mirip pohon ek remaja yang kokoh. Kamu berdiri dengan sebuah violin bersama seorang kawanmu yang matanya tak memiliki pupil, menghadap sebuah piano besar. Awal mulanya aku bertanya-tanya, apa kiranya yang akan dilakukan seorang yang bisu dan tuli dengan violinnya bersama seorang buta dengan pianonya di dunia yang telah membisu sedemikian senyap ini? Butiran air sisa penghujan sore tadi menetes dari ujung-ujung dahan pohon ek remaja itu, jatuh menimpa rambutmu yang terurai halus. Kupandangi matamu yang tertutup, mulai menggesek violin yang kauanggit di antara bahu dan gadumu. Kusimak Après un rêve, Op. 7. milik Gabriel Fauré. Betapa suara-suara yang sedemikian menyayat bisa dinyanyikan oleh seorang yang bisu dan tuli, yang secara pertimbangan logika sederhana adalah paradoks. Tetapi, aku melihat paradoks ini, paradoks yang konon adalah ruh dari geliat dunia ini. Kusimak dengan penuh getar setiap nada-nada yang kaugubah dari gerak menjadi suara. Alangkah indahnya! Alangkah sendunya!

       Langit bisu, untunglah manusia bisa berbicara, berbunyi, bernyanyi. Meski langit boleh jadi berbicara dengan caranya, berbunyi dengan caranya, bernyanyi dengan caranya, tetap saja tak bisa kusimak secara lengkap. Langit hanya begitu rupa, luas lagi sunyi-senyap. Demikianlah kurasakan.

       Begitu rupa kamu larut, menyatu-lebur dengan violin mungilmu itu. Tak bisa kusangka, tak bisa kuterka, bagaimana mungkin seseorang yang tak bisa mengenal suara maupun menciptakan suara bisa bersahabat karib sedemikian intim dengan suara? Apa mungkin kamu sebenarnya yang tidak bisa mendengar bukan berarti tak memiliki pendengaran? Apa mungkin kamu sebenarnya yang tidak bisa menyanyi bukan berarti tak memiliki nyanyian? Tidak ada suara lain selain alunan violin dan piano yang berpadu menjadi sebuah musik yang sendu. Malamku berubah kelabu. Sekelabu-kelabunya kelabu di antara yang paling kelabu.

       Demikian malam-malam aku menghentikan kelanaku untuk mencari tempat-tempat menepi. Di tepi kafe Boshwezen, aku dipertemukan denganmu, seorang violinis bisu dan tuli yang ternyata lebih bersahabat dengan suara ketimbang manusia yang tidak bisu dan tuli. Setiap malam aku menunggu gubahan sendu dan pilu dari violinmu itu. Kusimak baik-baik malam-malam yang kamu perindah dengan Solitary Hill, Jesu, Joy of Man's Desiring, Largo Maestoso, Dream of Dreams, Butterfly Waltz, Adagio Con Amore, En Passant, dan lain-lain. Aku merasa dihancurkan berkeping-keping dan merasa tuli setuli-tulinya tuli, bisu sebisu-bisunya bisu. Kamu lebih mengerti suara ketimbang aku atau siapa pun, kamu lebih mengerti bahasa ketimbang aku atau siapa pun.

       Hari-hari berlipat kembali. Kutemukan diriku di hadapan sebuah meja yang penuh oleh serakan kertas. Betapa kehidupan kita tak bisa dipisahkan dari kertas. Apa satu-satunya cara manusia hidup adalah dengan mengorbankan sesuatu? Kutoleh jam dinding. Senja mulai berpendar di balik cakrawala. Cahaya kejinggaan dan keemasan yang membara itu akan selalu padam. Keindahan dan ketakjuban diciptakan dalam bentuk yang paling fana. Kusadari betul bahwa langit bisa berbahasa. Bahasa mana yang bisa diredam? Suara hanyalah anak-anak dari bahasa. Suara adalah anak-anak dari perasaan. Suara adalah anak-anak dari jiwa dunia. Kutumpuk serakan kertas itu menjadi satu, alakadarnya saja. Mengenakan sepatu dan jaket, serta siap kembali menyimak bahasamu di kafe itu, di bawah sebuah pohon yang kukira mirip pohon ek remaja yang kokoh.

       Langit bisu, untunglah manusia bisa berbicara, berbunyi, bernyanyi. Meski langit boleh jadi berbicara dengan caranya, berbunyi dengan caranya, bernyanyi dengan caranya, tetap saja tak bisa kusimak secara lengkap. Langit hanya begitu rupa, luas lagi sunyi-senyap. Demikianlah kurasakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun