Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berduka di Surga

16 Juli 2019   18:26 Diperbarui: 16 Juli 2019   18:51 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apakah kebahagiaan harus dikejar atau ditunggu?

Sebuah pertanyaan yang terkesan sederhana tetapi ironis. Banyak di antara kita yang mat-matian mengejar kebahagiaan, tetapi tak pernah menemukannya. Banyak pula di antara kita yang duduk pasrah menunggunya, dan kebahagiaan tetap tak jua datang. Lalu, apa yang harus dilakukan manusia untuk bisa meraihnya, hidup dengannya, mencumbunya dengan penuh khidmat?

Apa yang benar-benar berarti dari sejarah? Pernah kudengar bahwa sejarah adalah guru terbaik, yang tentu saja akan memberikan banyak pelajaran berarti. Namun, sebanyak yang manusia bisa usahakan untuk belajar dari sejarah, banyak di antaranya yang selalu tersesat dalam belantara kebingungan yang abstrak. Bisa aku katakan, bahwa selama ini manusia tidak pernah benar-benar belajar dari sejarah. Kali ini, aku akan bertolak ke barisan sejarah yang tersusun ke belakang. Memilah dengan cukup hati-hati tentang beberapa hal yang mungkin berarti.

Seorang wanita yang berada di kejauhan sana, di masa-masa yang sudah tersembunyi di balik tumpukan-tumpukan peristiwa. Marilyn Monroe. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku selalu membayangkannya. Bukan karena ia adalah simbol seksualitas paling populer pada tahun 1950-an yang digandrungi naluri alamiah lelaki (aku pun seorang lelaki), melainkan karena paradoks hidupnya---sebuah sejarah hidup yang ironis.

Seorang wanita sempurna bernama asli Norma Jeane Mortenson yang lahir pada 1 Juni 1926 di Los Angeles, California, AS. Ia dikenal sebagai seorang aktris, penyanyi, dan juga model yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Seorang wanita yang menjadi simbol seksualitas, yang artinya menjadi simbol dari keindahan dan kenikmatan surgawi---manifestasi dari keindahan dan kenikmatan itu sendiri. Seorang wanita sempurna yang berdiri di puncak estetika. Nah, bisa kita bayangkan betapa sempurnanya seorang wanita ketika manunggal dengan keindahan itu sendiri---hal ini diakui oleh seluruh dunia.

Wanita berambut pirang itu tentu memiliki kedudukan, gengsi sosial, harta, dan popularitas yang berada di atas awan---berada hampir di atas semuanya yang bisa dicapai seorang wanita. Adakah alasan ia tak berbahagia? Kurasa nyaris mustahil untuk ada. Ia terlalu sempurna untuk tak bisa berbahagia. Ia tak perlu mengejar kebahagiaan, tak perlu juga menunggu dan menggantungkan harap agar kebahagiaan mengunjunginya. Kebahagiaan telah memilihnya, dan bahkan kebahagiaan adalah apa yang terwakil dalam sebilah senyum memesonanya.

Kubaca ulang tulisanku di atas beberapa kali sebelum melanjutkan menulis, dan aku merasa tidak berlebihan menuliskan deskripsi semacam itu untuk Monroe. Apa yang kutulis adalah fakta, kita pasti percaya bahwa itu adalah fakta. Fakta tentang kesempurnaannya tentu akan mendukung pula pada kesimpulan bahwa ia adalah wanita yang berbahagia, bagaimana mungkin tidak---kita pasti percaya dan mau tidak mau harus percaya.

Tak bisa kubayangkan betapa seorang wanita semacam Monroe tidak perlu terluka terlebih dahulu untuk bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia tak perlu menghabiskan banyak waktu---juga pengorbanan---agar lelaki datang memujanya. Sungguh sempurna, bukan? Ah, aku mengulangi deskripsi tentang ini, tetapi sekali lagi, aku sama sekali tak merasa berlebihan.

Dari segala kesempurnaannya, ia merupakan sosok yang cerdas meskipun pada awal mula karirnya di dunia entertainment ia menjadi sesosok "pirang yang bodoh." Beberapa artikel mengatakan IQ-nya sampai kurang lebih 168. Sikap hidupnya yang sederhana menambah kesempurnaannya. Kesederhanaannya dapat dilihat bagaimana ia memperlakukan perhiasan.

Meskipun ia dikenal karena menyanyikan lagu Diamonds Are a Girl's Best Friend, ia hanya memiliki sebuah cincin berlian dan kalung mutiara yang diberikan suami keduanya, Joe Di Maggio. Bukankah itu luar biasa? Berapa banyak uang yang dimilikinya dan betapa lapang jiwanya karena tidak hanyut sebagai "seorang gadis" yang dinyanyikan olehnya sendiri.

Betapa sejarah telah menyimpan kisah-kisah fantastis dari orang-orang terpilih di berbagai penjuru bumi untuk dijadikan bahan pelajaran. Sampai sini, aku mengakui bahwa kekayaan tetap bisa dijadikan sahabat selama kita mampu mengontrol diri sendiri.

Nah, apakah kisah yang hendak aku tulis selesai di sini? Sebenarnya tidak. Aku akan menulis lagi. Bukankah belum kita temukan paradoks dari sejarah hidup Marilyn Monroe, melainkan hanya menyimak kisah hidupnya yang luar biasa? Baiklah  ... aku akan menghantarkan kita pada pada pertanyaan di awal tulisan ini, "Apakah kebahagiaan harus dikejar atau ditunggu?"

Pada akhir hayatnya, aku menemukan suatu ironi janggal yang sangat menyakitkan dari seorang Monroe. Pada suatu malam, ia berada sendirian di kamarnya dengan pintu tertutup. Tentu saja, seorang selebriti memerlukan privasi yang sangat ketat dan membutuhkan waktu untuk bercengkrama dengan dirinya sendiri. Seorang Marilyn Monroe, wanita yang sempurna, dikabarkan mati malam itu di kamar tidurnya.

Beberapa spekulasi yang hadir menyatakan bahwa ia mati bunuh diri dalam kesunyian karena "ketakutan dan depresi" dengan "perubahan perasaan dan tak terprediksi." Ironis, bukan? Seorang wanita yang berdiri di atas segalanya, yang menurut pandangan banyak orang tak berjarak dengan kebahagiaan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dalam kesunyian. Aku sangat yakin, barangsiapa berdiri di puncak, maka ia harus siap sendirian, dan itulah yang dirasakan Monroe---setidaknya menurutku.

Bukankah banyak wanita di dunia ini yang menginginkan kehidupan seperti Monroe? Tentu saja jawabannya bisa kita tebak, tetapi bagaimana dengan pendapat Monroe tentang hidupnya sendiri? Apakah ia benar-benar menginginkan kehidupan seperti yang dimilikinya saat ini? Hampir semua orang bisa menyimpulkan, tetapi hampir semua orang tak mengetahui kebenaran yang ada di dalam hati wanita sempurna yang malang itu.

Pada akhirnya, usai aku membaca buku yang menuliskan kisah Monroe, dan mencoba menuliskannya kembali (saat ini). Di tempat di mana aku menghela napas panjang yang sesak, kulihat anak-anak berlarian dan tertawa riang. Mereka adalah anak-anak dari orang yang baru saja tempat usahanya diruntuhkan. Mereka terus tertawa dan terus tertawa---kulihat ketulusan menetes dari seringai bibirnya. Mereka sama sekali tak mengejar kebahagiaan dan tak menunggu kebahagiaan.

Kenapa aku bisa menyimpulkan demikian? Sebab, jika melihat situasi kehidupannya, mereka sudah semestinya bersedih dan menangis. Lalu, kenapa mereka tidak melakukan itu? Apa karena mereka bodoh? Tidak ... tentu saja tidak. Itu karena mereka tidak sibuk mencari kebahagiaan atau menunggu kebahagiaan dengan segala syarat-syaratnya yang berat.

Mereka hidup dan berbahagia terlepas dari situasi apa pun. Mereka menikmati hidupnya, menikmati kenyataan dan fantasinya, tanpa sedikit pun menolak dan memberontak, sebab mereka---anak-anak itu---sadar, bahwa mereka adalah tuan dari diri mereka sendiri; dan sudah menjadi hak mereka untuk mendekap kebahagiaan meski tak memiliki apa pun---karena mereka berhak atas banyak hal; termasuk kebahagiaan.

Tasikmalaya, 15 Juli 2019

22:09 WIB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun