Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Rekuiem

17 Juni 2019   22:02 Diperbarui: 17 Juni 2019   22:04 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apakah Tuhan senang melihat manusia hidup dalam derita?

            Masih di seberang Hotel Flora II, bangunan yang kukira agak menyeramkan dan menyimpan banyak rahasia, aku duduk sendirian dan menghabiskan banyak sekali batang rokok. Di sini kukira kendaraan yang tergesa-gesa melintas dengan napas mesinnya yang serak namun dipaksakan. Aku bertanya-tanya, ke mana gerangan mereka hendak pergi? Tak pernah kudapati jawaban pasti, dan memang sepertinya jawaban pasti tentang pertanyaan itu tak pernah benar-benar kubutuhkan. Orang-orang selalu bepergian untuk kembali pulang. Sama seperti orang-orang selalu berperang untuk kembali meneriakkan perdamaian.

            Negaraku kini dilanda sinisme berkepanjangan. Tentu saja hal tersebut terpantik oleh hal, yang menurut pandanganku, sangat tidak penting. Pasca pemilihan pemimpin negara, kami mulai menolak persaudaraan. Penolakan ini tentu saja tersimpan dalam bias---dalam selubung yang benar-benar ambigu dan tidak vulgar.

            Selalu ada kiri dan kanan, seperti halnya yang kini terjadi. Ada kubu A dan kubu B. Sebenarnya, apakah ambivalen semacam ini benar-benar perlu ada? Kukira, sebuah takdir bergerak sesuai dengan kehendak, dan kehendak macam apa yang selalu memecah belah? Kita tahu, pertarungan dalam gedung teater semata adalah apa yang dirancang "seseorang". Kehidupan nyata tak terkecuali, bukan? Bisa saja protagonis dan antagonis (meski entah penamaan itu cocok atau tidak) diciptakan oleh "seseorang" juga---yang tidak terjangkau gelombang kesadaran.

            Kopiku benar-benar dingin. Sama sekali tidak cocok untuk diminum pada malam hari dengan cuaca yang gigil. Namun, kehangatan rupanya memang sudah menjadi barang langka. Nyaris mustahil ditemukan---seperti kebenaran apa yang ada di balik senyum dingin Monalisa-nya Da Vinci.

            Aroma surga agaknya telah menjadi milik perorangan dalam perspektifnya yang paling egois. Kita berteriak tentang kebenaran dengan penuh angkara murka. Apakah perilaku demikian tidak serupa dengan nalar yang kesetanan? Sedang, setelahnya kita berbicara tentang cinta dan persatuan. Udara segar pun tak bisa melegakan dadaku.

            Rumah kita terlalu luas untuk diisi dengan egoisme. Kebenaran tak selalu harus dibicarakan dengan lantang. Ya, tak selalu harus. Ada kalanya, demi meredam api yang bisa berkobar kian besar dan merusak, kita mesti menahan diri untuk membicarakannya. Semua demi cinta dan persatuan itu, Saudara. Negara kita tak cukup disokong dengan hanya persaudaraan dalam ikrar. Sebuah janji hanyalah bunga diplomasi---sama seperti puja-puji indah yang tak pernah kita ketahui apa maknanya. Persatuan memerlukan segala hal yang disebut pengorbanan. Pengorbanan tak selalu berupa rela mengorbankan nyawa. Nyawa terlalu berharga untuk sesuatu apa pun, bahkan persatuan. Sebab persatuan semacam ini tak pernah jelas batasannya. Bisa saja setiap kelompok kecil dalam sebuah negara membawa-bawa tulisan "persatuan" di benderanya, sehingga pengorbanan dalam artian mengorbankan nyawa mesti diindahkan meski harus merusak negara kesatuan yang terlalu besar ini.

            Pemilihan pemimpin telah berlalu, tetapi peperangan masih dalam tahap pembukaan. Tumpukan jerami kering banyak tersebar dan siap menjadi fondasi armagedon kalau-kalau ada yang tidak sengaja menyalakan api.

            Visum et repertum mungkin saja akan memuat penyakit senyap yang kronis atas keadaan negara ini---seperti halnya sel-sel kanker yang berada di dalam tubuh manusia. Rupanya persatuan masih berupa terra incognita---sebuah wilayah tidak dikenal; daerah yang belum dijelajahi. Namun, kita gemar meneriakkannya dengan kepalan tangan dan memukul siapa saja yang berbeda.

            Sudah terlalu malam. Aku kira pembicaraan penuh pesimisme hanya akan membuat tidur menurun kualitasnya. Semoga masih banyak optimisme yang layak dipercayai, terkhusus untuk cinta dan persatuan yang abstrak itu---meski kita harus melakukan rekuiem terlebih dahulu bagi korban para penyelenggara "pesta" demokrasi tempo hari.

Kuningan, 17 Juni 2019

21.54 WIB

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun