Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Spinoza dan Substansi Kehidupan

13 Oktober 2018   14:24 Diperbarui: 13 Oktober 2018   15:04 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia tak pernah bisa hidup tanpa pegangan (kekuatan besar) yang secara alamiah diperlukan bagi keseimbangan kehidupannya. Maka dari itu, eksistensi tuhan terwujud dalam bermacam konsepsi guna memenuhi naluri alamiah kehambaan manusia. Berbicara tentang tuhan tentu saja kita akan membicarakan suatu dzat yang transenden sekaligus imanen, maya sekaligus nyata, batin sekaligus lahir, immateril sekaligus materil. Tak pernah ada jawaban pasti mengenai definisi atau deskripsi tentang ketuhanan. 

Selama beradab-abad manusia ada di muka bumi, manusia secara otomatis terserap ke dalam gravitasi ilahiah yang begitu fundamental lagi matematis. Banyak orang, baik yang memercayai tuhan maupun yang tidak, memiliki pertanyaan tak terhingga tentang eksistensi tuhan. Di mana Ia berada, bagaimana Ia hidup, kenapa Ia menciptakan alam semesta, apa Ia benar-benar ada, dan ragam jenis pertanyaan serupa tentang kejelasan mengenai tuhan. Manusia, tentu saja, dengan keterbatasan nalarnya, hanya bisa membuat hipotesis yang tentatif guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bila Ia bisa dipahami, berarti Ia bukan Tuhan.

Statemen tersebut seakan-akan berencana membuat manusia menyerah untuk mengenali tuhannya sendiri. Padahal jelas, bila kita tak bisa, atau setidaknya berupaya untuk mengenal-Nya, maka kita pun akan terperosok dalam lubang ketidakjelasan dan kehilangan pegangan alamiah yang secara fundamental mesti ada dalam kehidupan kita.

Bermacam-macam manusia dalam sejarah mencoba sekuat tenaga, daya, dan akal untuk menciptakan konsepsi maupun definisi tentang tuhan, meski tetap saja, tidak bisa memenuhi harapan semua umat manusia yang dilanda kebingungan untuk mengenal penciptanya.

Baruch de Spinoza (1632-1677) adalah seorang filsuf keturunan Yahudi-Portugis yang lahir dan besar di Belanda. Pemikiran Spinoza berpangkal dalam tradisi Yudaisme. Pemikiran Spinoza yang terkenal adalah ajaran mengenai substansi tunggal Tuhan atau alam. Menurutnya Tuhan dan alam semesta adalah satu dan Tuhan juga mempunyai bentuk materi yang mengejawantah sebagai entitas semesta secara keseluruhan. Pemikiran tersebut membuat Spinoza disebut menganut panteisme-monistik. Ia adalah salah satu filsuf yang berkontribusi menyusun kerangka pemikiran dalam rangka memahami tuhan.

Spinoza berkata bahwa Tuhan adalah "sesuatu" yang dipikirkan. Tentu saja, hal ini tidak bisa langsung dibenarkan atau disalahkan. Jika demikian statemen Spinoza, maka itulah yang ia yakini. Keterbatasan indra manusia yang tidak bisa menangkap perwujudan tuhan secara langsung tentu akan memberikan stimulus bahwa tuhan hanya bersemayam di dalam pikiran. Sebab tidak seorang pun yang tidak punya pemikiran bisa memaknai eksistensi tuhan (dalam hal ini tidak berkonteks material).

Spinoza berupaya mengembangkan argumen bahwa tuhan telah termanifestasi dalam ragam bentuk seperti dalam konsep wahdatul wujud Ibn Arabi dan Manunggal Ing Kawula Gusti Syaikh Siti Jenar. Menurut Spinoza, wujud tuhan adalah alam semesta itu sendiri, dan wujud alam semesta adalah tuhan itu sendiri. Maka dari itu setiap entitas (dalam bentuk apapun) adalah pengejawantahan tuhan. Setiap materi di alam semesta ini, ragam bentuk, corak, warna, sifat, hanyalah biasan cahaya ilahiah yang tunggal. 

Maka dalam setiap cahaya yang memancar dan menjelaskan penampakan benda-benda di sebuah ruang, sebenarnya hanya bersumber dari satu bola lampu, atau substansi inti dari keberadaan. Analogi ini selaras dengan ucapan Albert Einstein mengenai eksistensi, Kegelapan itu tidak ada, yang ada adalah ketiadaan cahaya. Maka, keberadaan sejatinya hanyalah milik tuhan yang menjadi sumber dari segala perwujudan materi di alam semesta.

Sungguh, tuhan tidak pernah terkungkung dalam limited-conception yang berasal dari manusia. Ia merupakan "sesuatu" yang tidak akan bisa dipahami dengan pemahaman, karena Ialah yang menciptakan pemahaman. Ia tidak akan terjebak dalam bentuk, karena Ialah yang menciptakan bentuk. Ia tidak akan terjebak dalam nominal, karena Ialah yang menciptakan nominal. Ia tidak akan terjebak dalam pemikiran, karena Ialah yang menciptakan pemikiran. Ia benar-benar "sesuatu" yang berada dalam dimensi transenden sekaligus imanen. 

Maka, pertanyaan tentang letak, wujud, jumlah, dan lain sebagainya, sejatinya hanyalah bias dari kesemua dialektika yang tercipta sebagai akibat dari kesebaban-Nya yang tunggal. Wallahu 'alam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun