Mohon tunggu...
Brian Yuliarto
Brian Yuliarto Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Teknik Fisika, ITB

Pernah mengenyam pendidikan S1 Teknik Fisika di ITB, kemudian S2 dan S3 Quantum Engineering and Systems Science di The University of Tokyo alias TODAI. Saat ini sebagai dosen dan peneliti di Lab AFM Teknik Fisika ITB.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

100 Tahun Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia: Menyongsong Era Baru Pendidikan Tinggi

26 Juli 2020   12:54 Diperbarui: 26 Juli 2020   12:57 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tepat pada tanggal 3 Juli 2020 lalu, dunia pendidikan Indonesia memperingati 100 tahun Pendidikan Tinggi Teknik Indonesia (PTTI). Peringatan tersebut bertepatan pembukaan Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB) pada tanggal 3 Juli 1920. TH Bandoeng, yang pada tahun 1959 resmi menjadi Institut Teknologi Bandung, merupakan institusi pendidikan tinggi teknik pertama yang didirikan di tanah air.

Dorongan untuk mendirikan Technische Hoogeschool pertama kali tidak berasal dari pemerintah kolonial, namun justru dari perusahaan swasta yang berada di Hindia Belanda. Perkembangan industri yang semakin pesat di Hindia Belanda, membutuhkan banyak sumber daya manusia yang semakin handal di bidang teknik. Ditambah lagi dengan pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914-1918 yang membuat migrasi tenaga insinyur dari Belanda ke Hindia Belanda menjadi sulit dilakukan.

Upaya pengusaha Hindia Belanda untuk melobi pemerintah Belanda digambarkan Abel Streefland (2020) dalam "A Shared History of TU Delft and Bandung Institute of Technology". Puncaknya ketika delegasi  Indi Weerbaar dari Hindia Belanda, yang berisikan pengusaha berpengaruh seperti K.A.R Bosscha melakukan kunjungan ke Belanda dan secara resmi mengusulkan berdirinya kampus teknik di Hindia Belanda.

Pada tahun 1917, beberapa perwakilan perusahaan swasta di Hindia Belanda bersama dengan wakil pemerintah kolonial dan asosiasi insyinyur Belanda mempelopori berdirinya Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indi (KIHTONI) yang bertugas mempersiapkan berdirinya Technische Hoogeschool di Hindia Belanda. KIHTONI inilah yang kemudian berperan dalam penggalangan dana dan dukungan dari berbagai pihak.

Dalam hal kurikulum pendidikan teknik, KIHTONI menunjuk guru besar TH Delft, Prof. Ir. Jan Klopper. Klopper, yang kemudian menjadi rektor pertama TH Bandoeng menghendaki lulusan THB agar setara dengan lulusan TH Delft. Namun, lulusan THB juga diarahkan memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan kondisi alam nusantara. Misal, tentang ilmu rancang bangun di daerah tropis serta kemampuan merancang infrastruktur pengairan dan kereta api di pegunungan yang berbeda dengan di Belanda.

Belajar dari sejarah berdirinya THB sebagai pendidikan tinggi teknik pertama di Indonesia, kita dapat mengambil beberapa pelajaran berharga guna meningkatkan kualitas PTTI di masa mendatang. Pada awal berdirinya, pendidikan tinggi teknik dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya dunia industri. Selain itu, PTTI dari awal juga didesain untuk setara dengan pendidikan teknik di dunia barat. Akan tetapi, dalam kesetaraan tersebut, lulusannya diharapkan memiliki kemampuan untuk mengatasi tantangan yang relevan dengan kondisi di wilayah berdirinya pendidikan tinggi tersebut.

Tantangan dunia industri Indonesia saat ini tentu berbeda dengan kondisi industri di era kolonial. Dunia industri saat ini diisi oleh para lulusan generasi millennial yang lebih terkoneksi satu sama lain dibandingkan generasi sebelumnya.  Konektivitas ini menjadi modal yang sangat berharga dalam menyambut era industri 4.0.

Agar tetap relevan dengan tantangan saat ini, PTTI harus lebih adaptif menghadapi perkembangan zaman. Terlebih, dunia usaha saat ini tidak lagi berjalan linear. Lompatan-lompatan yang disebabkan oleh perkembangan teknologi terus menerus menimbulkan disrupsi dalam dunia bisnis.  Clayton M. Christensen (1995) mencirikan disrupsi teknologi dengan adanya penciptaan pasar dan rantai nilai baru yang mengganggu pasar mapan yang diisi produk serta perusahaan besar saat ini. Laporan dari Mckinsey Global Institute memprediksikan pada tahun 2025 disrupsi teknologi akan memberi dampak ekonomi senilai 33 Triliun Dollar AS.

Rektor ITB, Prof Reini Wirahadikusuma, PhD, dalam sambutannya di acara peringatan 100 Tahun PTTI mengatakan bahwa, di era informasi dan konektivitas, cara-cara pengetahuan dihasilkan, disirkulasikan dan diadopsi semakin berpola jejaring, bukan lagi berpola linier 'hulu-hilir' ataupun 'pusat-periperal'. Oleh sebab itu, PTTI perlu terus-menerus menyempurnakan learning system & environment di kampus-kampus Indonesia.

ITB telah memulai upaya lebih adaptif dengan mendirikan pusat-pusat penelitian yang dapat lebih bebas dalam melakukan riset. Beberapa pusat penelitian seperti Pusat Penelitian Nanoscience dan Nanotechnology, Pusat Penelitian Bioscience dan Biotechnology, Pusat Intelejensia Buatan (AI), Pusat Inovasi Kota dan Komunitas Cerdas, serta lain lainnya diharapkan dapat mengikuti perkembangan teknologi secara lebih cepat. 

Pusat-pusat penelitian yang menjadi "hub" berbagai disiplin ilmu juga menjadikan pengembangan riset menjadi tidak terbatas serta lintas keilmuwan. Sekat sekat disiplin ilmu menjadi dapat dihilangkan dengan pendekatan pusat-pusat seperti ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun