Mohon tunggu...
Zulkifli SPdI
Zulkifli SPdI Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Arab MAN 3 Solok

Hidup akan benilai dengan amal, manusia akan berharga dengan kemanfaatannya bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Money

Harga Uang yang Semakin Tak Berharga

16 Januari 2020   06:32 Diperbarui: 16 Januari 2020   06:36 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

"Benar nih judul artikelnya harga uang? 

"Bukannya semua barang dan jasa itu dihargai dan dinilai dengan uang?" 

tanya rekan di sebelah meja seketika matanya secara tak sengaja melirik ke arah layar laptopku yang sedang menyala.

"Iya sob, kamu tidak salah baca !" Jawabku singkat. Maklum, bukannya sombong atau cuek. Tetapi karena jari-jemariku sedang sibuk mencari-cari dan meraba-raba setiap huruf yang sudah tercetak jelas di tuts keyboard laptopku.

Meskipun sudah lama pandai mengetik di komputer, tetapi masih belum terbiasa juga mengetik dengan sepuluh jari. Aku hanya mampu menggunakan beberapa jari untuk mengetik. Tapi setidaknya tidak lagi dengan sebelas jari.

Waduh, kok malah menulis masalah ketik mengetik ya? Oke deh, yuk kita masuk ke pembicaraan intinya sekarang, yaitu harga uang. Walaupun saya bukanlah seorang ekonom handal, bahkan hanya belajar tentang skonomi waktu di tingkat Tsanawiyah dulu saja. Tapi setidaknya mari sedikit kita bandingkan harga uang itu dengan sedikit bernostalgia ke masa-masa dahulu, dimana kita mungkin baru saja mengenal uang.

Awal tahun 90-an adalah awalnya saya mengenal uang dengan harganya. Ketika saya memasuki jenjang pendidikan dasar alias SD. Waktu itu, saya diberi uang jajan sejumlah 50 rupiah saja. orang-orang di kampungku menyebutnya dengan sasuku. 

Sasuku itu terdiri dari duo tali, yaitu 2 kali 25 rupiah atau sen. Kalau satu 25 sen itu disebut dengan ciek tali atau satali. Dengan uang seharga 50 rupiah itu saya sudah bisa jajan membeli dua buah bakwan atau empat buah kerupuk ubi yang di atasnya dihiasi dengan kuah sate plus mie putih halus rebus. 

Kami menyebutnya karupuak leak.  Nah, sekarang di tahun 2020 ini, apa sih yang bisa kita beli dengan uang seharga 50 rupiah tersebut? Mungkin sudah tidak ada. Bahkan anak-anak SD sekarang tidak lagi mengenalnya.

Sebuah bakwan, saat ini rata-rata (di tahun 2020) dihargai dengan uang senilai 500 rupiah. Bahkan ada yang 1000 rupiah, tergantung ukurannya. Begitu juga dengan karupuak leak. Sekarang ini dihargai dengan 500 rupiah untuk 1 kepingnya. Artinya bila dibandingkan dengan awal tahun 90-an, harga uang itu sudah turun sebanyak 1000 % dalam kurun waktu 30 tahun.

Begitu pula jika kita bandikan dengan biaya pendidikan anak-anak kita. Ketika saya kelas 6 SD (masih tahun 90-an), biaya sekolah waktu itu hanya 5000 rupiah per caturwulannya. Dan untuk bisa membawa uang sejumlah itu, pada saat itu sangat sulit. 

Orang tua akan melipatnya sekecil mungkin dan mengikatnya menggunakan karet ke baju di bagian dalam agar tidak hilang atau terjatuh saat menuju ke sekolah. Maklum, waktu itu kami ke sekolah dengan berjalan kaki menempuh jarak yang lumayan jauh. 

Coba kita bandingkan dengan biaya sekolah SD hari ini. Belum lama ini, saya memindahkan anak saya kelas tiga ke sebuah SD swasta khusus tahfiz al Qur'an. Ketika mendaftarkannya, saya disodori secarik kertas kecil berisi nominal biaya yang harus saya lunasi jika benar-benar ingin memindahkan anak ke sekolah tersebut. 

Ternyata biayanya hampir senilai 3 juta rupiah sudah termasuk biaya beli seragam, buku dan lainnya. Uang bulanannya sebesar 300 ribu rupiah. Artinya, kalau satu caturwulan saya mesti membayar 900 ribu rupiah. 

Berapa persen penurunan harga uang tersebut? Silahkan pembaca yang budiman mengitungnya sendiri, karena matematika saya sudah mulai error menghitung perbandingan harga uang tersebut.

Dengan dua perbandiangan sederhana di atas, mungkin akan muncul pertanyaan di fikiran kita masing-masing. "Sebenarnya harga uanya yang turun atau harga barangnya yang naik sih?" kalau tidak salah, dalam bidang ekonomi ini sih disebut dengan inflasi. 

Dimana, terjadi penurunan harga uang terhadap barang. Artinya barang-barang yang akan kita beli semakin mahal, sementara uang yang kita miliki semakin turun nilainya.

Ini adalah sebuah realita yang sedang kita hadapi saat ini. Dimana, untuk mendapatkan uang sangatlah sulit apalagi jika menggunakan tenaga saja. bayangkan seorang buruh upah pertanian, yang hanya diupah dengan uang sekitar 60-70 ribu perharinya. 

Tentu akan akan sangat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup dirinya bersama keluarganya. Mengingat, harga beras saja sekarang ini sudah tembus 12 ribu rupiah perkilonya. Sedangkan dalam sehari, satu keluarga kecil bisa menghabiskan 2 kg beras perharinya. Belum lagi beli lauk, sambal dan sayurnya.

Para petani pun tak kalah perihnya. Untuk bisa menanam padi di sawah, petani mesti mengeluarkan modal yang tidak sedikit pula. Mulai dari upah-upah pengelohan sawah, biaya benih, pupuknya serta insektisida, ditambah biaya-biaya tak terduga lainnya, seperti biaya pengairan ketika musim kemarau atau biaya menunggui padi di pagi dan sore hari dari gangguan para burung. 

Serta biaya menunggui padi di kala malam dari gangguan babi hutan dan sebagainya. Ditambah lagi dengan upah yang mesti dikeluarkan ketika panen. Sehingga, ketika musim panen usai, hasilnya hanya cukup untuk membayar hutang yang timbul untuk membiayai padi tersebut. 

Hal itu masih dikatakan beruntung, bila dibandingkan dengan mereka yang padi di sawahnya sudah diserang berbagai hama, atau terendam air saat musim hujan dan lain-lain, tentu bak kata pepatah : sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Akhirnya, dengan harga uang yang semakin hari semakin berkurang bahkan semakin berkurang nilainya, maka sangat ironis rasanya ketika kita masih saja sibuk memikirkan dan mengusahakan yang namanya uang. Dari pagi sampai sore bahkan malam, demi mencari uang. 

Padahal rezki itu tidak melulu soal uang. Meminjam ungkapan KH. Zainuddin MZ dalam sebuah ceramahnya : tanpa harta, mungkin orang akan sulit untuk bahagia, tetapi harta bukanlah jaminan, orang akan pasti bahagia. 

Jadi ingat pesan dari Rasulullah SAW, bekerjalah untuk duniamu, seakan kau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu, seakan-akan kau akan mati besok pagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun