By. Â Bustamin Wahid
Lecturer UM-Sorong
Papua kini masih menjadi laboraturium fenomena sosial, kejutan-kejutan sosial menjadi tanda masyarakat urban yang kompleks. Peristiwa arak "mayat" di Sorong menjadi habitus sosial baru tiga tahun terahi ini konflik-konflik sosial selalu mewarnai (walau itu semua bersifat kasuistik).Â
Kejadian di Sorong "Mayat" Â sering diarak pada satu titik (institusi negara: Polres, Kantor Pemerintahan), karena keluarga korman menuntut keadilan atas kematian anggota keluarganya, karena pembunuhan atau peristiwa tak wajar oleh oknum/masa. Mayat menjadi jalan panjang atas tuntutan yang tak behujung dipenegak hukum, Â dengan harapan mereka bisa menjumpai keadilan itu sendiri.Â
Banyak cara dari mencari keadilan hingga menuntut membayar denda adat benilai milyaran rupia. Cukup serius tuntutanya, dan menjadi tuntutan sosial model baru masyarakat Papua.Â
Peristiwa ini, jika kita kaitkan dengan ucapannya Karl Marx tentang fetesisme komoditas, Â segala sesuatu yang ada adalah harapan-harapan tentang nilai-nilai tukar (termasuk kematian), kematian kini menjadi ruang ekonomi baru dalam arus masyarakat konsumtif atau kapitalisasi "Mayat". Â
Mungkinkah peristiwa ini sebagai alasan atas kecintaan, duka, rindu, Â rasa sayang, kepada korban dan emosi merajahi pikiran untuk menuntut itu semua. Â Walau Marx sendiri lebih kaya mengurainya dalan lingkup ekonomi politik, namun itu semua serasa relevan dengan fenomena ini.Â
Lembaran dan bijaknya sikap orang-orang Ayamaru tentang kematian yang tak wajar (pembunuhan). Â Jika kita belajar dari kebiasaan orang-orang Ayamaru barat ada ritual venor untuk mencari titik kejelasan kematian (dengan jalan mitis).Â
Hal lain bisa kita jumpai tentang "kain jantung" satau cara untuk bayar adat jika ada kematian karena bunu diri atau dibunu. Betapa besarnya rasa cinta dan sayang mendorong lahirlah instrumen pengetahuan semata-mata menjawab atas ketidak tahuan itu.Â
Catatan lain dalan ritus venor dan kain jantung tidak menyebutkan materi (nominal angka sekalipun). Tapi kini semua telah berhadap-hadapkan dengan paradigma angka-angka.Â
Arak-arak "mayat" menjadi pertukaran simbol dalam ruang sosial baru di Sorong, bukan hanya masyarakat Papua (denda adat), tapi kini telah mentradisi dimasyarakat pendatang sebagai model baru menuntut keadilan.Â
Ihtiar dan solidaristas sosial perlu dibangun, ketakutan dalam peristiwa ini terus menjadi kebiasaan dan bermodal horor, Â maka kematian/mayat bisa saja dijadikan ruang kemodifikasian. Yang paling fatal adalah agen atau aktor mencoba untuk memanfatkan momentum kematian itu sebagai perente materi dan citra.Â