Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

ADA YANG MAU MAKAN DIAM-DIAM ! (Cerber Anak bag 2)

21 April 2014   22:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:23 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kiki masih tidur-tiduran di kasur yang empuk sambil memandangi langit-langit kamar yang terbuat dari jalinan bambu semacam bilik.

“Kiki……?” tiba-tiba neneknya sudah nongol di pintu kamar. “Oh iya, eh……maaf nek,” Kiki gelagapan.

“Tuh, mereka sudah datang, yuk kita keluar sambut mereka,”

“Siapa nek ?” tanya Kiki sambil mendekati nenek.

“Meta dan Ryan,” jawab nenek sambil tersenyum. Kiki perlahan bangun dari ranjang dan mengikuti langkah nenek ke luar kamar. Langkahnya terlihat tidak bersemangat.

Benar saja. Di ujung tangga rumah terbawah, dua orang anak seusianya menaiki tangga rumah. Kiki sebenarnya malas menemui mereka. Ah, paling anak kampung, atau anak suku primitif, batin Kiki. Ia pun acuh tak acuh menyambut uluran tangan mereka seketika sudah sampai di atas.

“Meta,” sapa seorang anak perempuan berkacamata dengan ramah memperkenalkan diri.

“Kiki,” sahut Kiki dengan senyum kaku.

“Ryan,” balas seorang anak lelaki berambut keriting tersenyum memperlihatkan semua giginya kepada Kiki. “Oh tidak,” Kiki mengeluh dalam hati.

“Namamu Kiki, ya ?” tanya Meta ramah. Kiki tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala. Meta setinggi dirinya, berambut lurus pendek sebahu. Matanya agak sipit, kulitnya lumayan putih.

“Kiki, Ryan juara I olimpiade matematika tingkat SD se Kabupaten Banjar Baru, sedangkan Meta terpilih sebagai Pramuka dan Siswa Teladan se……………,” nenek menjelaskan tapi keburu kepotong.

“Aku sudah tahu, nek, pasti se kabupaten Banjar Baru, kan ?” potong Kiki.

“Bukan, se Kalimantan Selatan,” sahut Meta dengan mantap.

“Kalau Kiki juara apa ?” tanya Meta ingin tahu.

Uf, oh my God, Kiki tidak berkutik lagi. Dia kini pasrah. Selalu saja perkiraannya salah. Kalau begini rasanya pengen balik ke rumah lagi, trus nangis di kamar keras-keras.

“Sudah, ayo kalian taruh tasnya di kamar. Meta dan Kiki satu kamar, Ryan dengan Ale, waduh….iya nenek lupa, kemana Ale ?” nenek memotong pembicaraan mereka. Untunglah, Kiki sejenak menarik nafas lega.

“Oh Ale datang juga ? Wah seru nih liburannya,” Ryan cepat-cepat bergegas menjumpai Ale di kamarnya. Meta ikut setengah berlari mengikuti langkah Ryan yang sangat cepat.

Mereka sudah kenal dengan Ale ? Kiki hanya bisa pasrah. Ia kini tidak bisa sombong lagi. Sesaat kemudian mereka sudah mandi dan berpakaian rapi. Sekarang siap-siap berangkat ke masjid. Kakek dan nenek ikut serta juga. Mereka tidak lupa membawa banyak makanan untuk didoakan di masjid.

Setelah sholat maghrib, dibacakanlah doa-doa menyambut datangnya bulan Ramadhan. Selesai berdoa, mereka pun makan bersama. Semua makanan yang dibawa jama’ah dibagi rata dan habis dimakan tanpa sisa. Kiki mulanya tidak mau mencicipi, dia diam saja. Tapi lama-kelamaan perutnya tidak tahan menahan lapar. Kiki pun akhirnya ikut makan.

Malam bertambah larut. Sholat Tarawih telah selesai dilaksanakan. Duapuluh tiga raka’at, duh capeknya, Kiki membayangkan selama lima hari di rumah kakek harus merasakan beratnya liburan Ramadhan. Bayangkan, selesai Tarawih, mereka masih harus mendengarkan ceramah dan Tadarusan bersama.

Meski di masjid ramai oleh anak-anak, Kiki tetap belum merasa nyaman. Beda halnya dengan saudara-saudaranya. Mereka tampak saling bercengkerama sambil bermain-main di sela-sela Tadarusan. Sementara Kiki hanya bisa sedih membayangkan teman-temannya di rumah bergembira Tarawih dan Tadarusan di masjid dekat rumah.

Emang sih rumah kakek dekat juga dengan masjid. Kiki lagi-lagi tidak menyangka di tengah hamparan kebun kelapa sawit ternyata menyimpan permukiman yang asri, berfasilitas lengkap, dan cukup modern. Tapiiiiiii……….Kiki masih belum bisa merasa nyaman. Pikirannya selalu membayangkan teman-teman di rumah.

“Kiki, ayo pulang,” tiba-tiba nenek menyentuh pundaknya dengan lembut.  Diikuti yang lain, mereka berjalan pulang beriringan. Kiki berjalan disamping nenek. Bila yang lain asyik jalan sambil ngobrol diselingi tawa, lain halnya dengan Kiki. Dia terlihat lesu dan matanya mulai membasah. “Nek, berapa lama aku harus puasa di sini ?” Kiki bertanya dengan nada lemah.

“Mengapa Kiki, apa kamu ingin segera pulang ?” nenek balik bertanya.

“Tapi, kalaupun pulang, ayah dan bunda tidak ada di rumah, mereka berangkat umrah,”

“Begini cucuku, selama ini kamu tinggal jauh di Jakarta, belum pernah bertemu dengan saudara-saudaramu di Kalimantan Selatan, bukan ? Belum pernah juga merasakan bagaimana melaksanakan Ibadan puasa di tempat yang sepi dekat hutan, bukan ? Dulu waktu  usia enam tahun Kiki memang pernah kesini, tapi itu bukan di bulan Ramadhan dan cuma tiga hari, jadi belum banyak mengenal saudara-saudaramu disini. Nah, sekarang mumpung ada kesempatan, cobalah kenali saudara-saudaramu dan nikmati puasa disini,” nenek menjelaskan sambil tersenyum.

“Oh, tidak……,” Kiki mulai menangis. Nenek dan yang lain heran, mengapa Kiki menangis. Kiki mulai merasa tidak betah. Kiki ingin segera pulang, kalau perlu malam ini juga ! Tapi itu tidak mungkin. Kakek dan neneknya mencoba menghibur Kiki.

“Kiki, besok kita jalan-jalan waduk Riam Kanan. Setelah itu kita bisa jalan-jalan juga mencari intan di Campaka, atau kalau mau ke Loksado,” bujuk Kakek. “Atau ke Kandangan, melihat kerbau rawa. Kalau mau ke pasar apung di muara sungai Banjarmasin, juga boleh,” tambah kakek lagi.

“Apa hebatnya mencari intan, ke Loksado, kerbau rawa, dan pasar apung dibanding pergi ke mal, Kidznania, atau makan pizza, burger, atau nonton film di Bliztmegaplex ??!” Kiki meluapkan emosinya.

“Anak manja,” gerutu Ale.

Kiki mendelikkan matanya ke arah Ale. Namun Ale tidak perduli. Dia mengajak Ryan dan Meta segera berjalan cepat supaya segera sampai di rumah. Malam itu Kiki tidur di kamar nenek. Bangun sahurpun Kiki tidak mau. Nenek sampai harus menyuapi Kiki di kamar.

Shubuh mereka kembali ke masjid. Kiki terpaksa ikut, karena dia takut di rumah besar itu, meski ada bujang Saleh dan bu Limah. Selesai sholat Shubuh Kiki diajak kakek dan nenek berjalan kaki bersama yang lain mengelilingi satu petak kebun sawit yang mengelilingi rumah kakek. Kiki baru tahu, perkebunan kelapa sawit itu sangat luas.

“Dahulu, ini adalah hutan,” kakek mulai cerita.

“Kemana binatang-binatangnya, kek ?” tanya Meta.

“Mereka sudah naik ke gunung. Ada juga yang masih suka datang, kadang-kadang Orangutan suka datang bergerombol, mereka merusak tanaman sawit yang masih muda,” lanjut kakek.

“Kakek pernah menangkap Orangutan ?” tanya Meta.

“Menangkap belum, Orangutan itu tubuhnya besar dan kuat. Perlu banyak orang untuk menangkapnya, sekarang ini sudah banyak Orangutan yang tertangkap,” Kakek menjelaskan.

“Orangutan itu pada mati tidak ?” tanya Ale ingin tahu.

“Ada yang mati, ada yang terluka, dan ada yang hidup lari ke hutan,” jelas kakek .

“Aku lihat ada rumah yang punya kandang anak Orangutan dekat sini, punya siapa, kek ?” tanya Ryan.

“Oh, itu anak Orangutan yang ditinggal atau tidak ada lagi induknya. Mereka dikumpulkan oleh anak buah kakek,”

“Kasihan ya ?” celetuk Meta.

“Yah, kasihan memang, cuma mereka kan kadang menjadi hama, jadi kita harus waspada kepada mereka,” balas kakek.

Selama pembicaraan itu Kiki hanya terdiam, dia jalan sambil dirangkul nenek. Mereka jalan paling belakang dan perlahan. Sambil berjalan mata Kiki tiba-tiba menatap ke sebuah pohon besar di kejauhan. Ada bagian dahan yang bergoyang-goyang. Kiki memicingkan matanya, tampak ada seekor Orangutan sedang bergelayutan di dahan.

“Awas kau, nanti bisa diculik induk Orangutan,” Meta menakuti.

“Aku tidak percaya,” Kiki mendengus tidak senang.

“Dulu pernah Orangutan menculik bayi, disangka bayi itu anaknya yang dicuri manusia, ………..,”

“Itu kan dulu, sekarang tidak ada lagi, bukan ?” sergah Kiki.

“Bisa saja ada, apalagi sama anak yang manja,” Ale menyela membuat wajah Kiki merah padam menahan marah. Nenek cepat menaruh telunjuknya di bibir tanda supaya tidak ribut. Kakek hanya tersenyum sambil mengelus-elus rambut Ale.

“Ada temanku yang adik bayinya hampir saja diambil Orangutan,” tiba-tiba Ryan menyambung, membuat Kiki terkejut.

“Mungkin temanmu salah lihat, bukan Orangutan mungkin, tapi manusia penculik yang memakai baju serba hitam,” kakek menimpali.

“Tidak, adik teman kak Meta adalah temanku, dia cerita katanya adik bayinya hampir saja diambil Orangutan, cuma ibunya behasil menghalau Orangutan itu kembali ke hutan,” Ryan bercerita lagi.

Belum berapa jauh mereka berjalan, tiba-tiba dari arah depan datang sebuah mobil bak terbuka. Ada sekitar lima orang tampak berdiri di bagian belakang. Kakek memicingkan matanya. Mencoba mengenali siapa mereka. Namun, baru setelah mobil itu mendekat, kakek bisa mengetahui siapa mereka.

“Pak Tua, ini ada kita tangkap seekor induk Orangutan dari tengah kebun,” kata seseorang dari atas mobil.

“Kenapa kamu tangkap lagi, Rohim ?” kakek terperanjat.

“Nanti dia bisa mengajak kawanannya merusak habis sawit yang masih muda,” orang yang disebut Rohim lalu meloncat ke bawah. Rohim berpenampilan seperti orang baik-baik, sayangnya wajahnya terlihat culas.

“Tidak akan, mereka sudah pergi sejak sebulan lalu, orang-orang LSM membawa mereka ke hutan yang dalam,” kakek tampak tidak senang.

“Pak Tua tidak percaya, baru saja kita bawa pergi induk ini, sudah banyak kawanannya yang ribut di pinggir hutan,” Rohim membela diri.

“Apakah induk ini mati ?” nenek melihat dari dekat.

“Tidak, dia cuma kita tembak bius, biar tidak rugi,”

“Maksudnya ?” Kiki tiba-tiba menyela.

“Biar dapat kita jual, lumayan harganya jutaan,” kawan Rohim yang jawab.

“Sebenarnya kami ingin menangkap mereka semua, biar dapat banyak uang, tapi pak Tua tidak membolehkan,” jelas kawannya itu.

“Ya, tidak boleh, karena ini hewan yang dilindungi,” sambung kakek.

“Hewan ini hama, pak Tua,” Rohim menyela.

“Kamu lihat kawanan yang ribut itu kan ? Mereka sebenarnya mencari induk ini, nanti mereka akan datang membalas dendam,” kakek menjelaskan sambil mengernyitkan dahinya.

“Justru kita akan dapat uang banyak,” kawan Rohim yang satunya lagi menyanggah.

Wajah kakek berubah memerah. Kakek tampak tidak senang mendengarnya. Rohim mengetahui benar watak kakek kalau sudah marah. Dia cepat-cepat memberi isyarat kepada kawan-kawannya supaya tidak membantah lagi.

“Pak Tua, baiklah, kami akan pergi. Oh iya, ini semua cucu, pak Tua ?” Rohim memperhatikan satu demi satu wajah anak-anak.

“Iya,” kakek menjawab singkat.

“Ini baru kesini, ya ? Dari Jakarta, kan ?” tunjuk Rohim kepada Kiki.

“Ya,” kali ini nenek yang menjawab.

“Baiklah, kami akan pergi,” Rohim pun pamit dan seiring mobil pergi meninggalkan mereka, kakek pun mengajak semuanya untuk segera kembali ke rumah.

Kiki yang masih belum mengerti, kembali melihat ke arah pohon tinggi yang tadi. Tampak dahan tersebut masih bergoyang-goyang, tapi itu bukan karena ditiup angin, melainkan ada sesosok kecil bergelayutan. Kiki pun kemudian mendengar lamat-lamat suara Orangutan bersahut-sahutan.

……………..

Siang pertama puasa, meski bukan di musim kemarau, tetap saja membuat perut yang biasanya penuh, terasa lapar. Seusai sholat zhuhur, Kiki yang kini sudah mau bermain dengan saudara-saudaranya, sedikit dapat  melupakan perasaannya. Yah, daripada meluapkan emosi seperti tadi malam, lebih baik memikirkan bagaimana caranya menahan lapar di hari pertama puasa ini.

Ketika nenek menyuruh mereka tidur, Kiki menurut. Cuma itu tidak lama. Kiki berusaha menahan laparnya yang teramat sangat. Kiki gelisah membolik-balikkan badannya di ranjang. Sementara Meta sudah tertidur pulas. Kiki yang lapar mengingat Ale yang doyan makan. Apakah Ale kuat menahan rasa laparnya ?

Kiki jadi terbangun. Dia diam-diam beranjak ke pintu, keluar dari kamar. Ia ingin menjebak Ale yang mungkin makan diam-diam. Kakinya melangkah menuju ruang makan. Rumah kakek neneknya memang besar. Kiki berjalan mengendap-endap, yang mungkin memakan waktu sepuluh menit lamanya untuk sampai ke ruang makan.

Setibanya di ruang makan, Kiki mengintip melalui pintu yang dibukanya sedikit. Ah, tidak ada siapa-siapa. Kiki masih penasaran. Mungkin saja Ale sudah membawa makanan itu ke ruang tidurnya. Lalu memakannya diam-diam atau berdua dengan Ryan, pikir Kiki.

Untunglah kakek dan neneknya tidur pulas. Sehingga rumah itu benar-benar sepi. Kiki pun mendekati meja makan.Kiki akhirnya memberanikan diri membuka tutup saji. Uf ! TIdak ada makanan disana. Meja makan itupun masih bersih seperti sehabis sahur tadi malam. Kiki jadi malu sendiri.

“Ki, mau cari makanan ?” Deg ! Jantung Kiki berhenti sesaat. Ada suara menegurnya di belakang. “Ah, tidak,” Kiki tergagap sambil menoleh ke arah suara itu. Ternyata itu suara Ryan.

“Lalu ?” Ryan masih heran.

“Aku hanya ingin tahu, apakah Ale diam-diam makan,” Kiki mencari alasan.

“Oooh, aku tadi bersama Ale dan bujang Saleh ke sungai, Ale masih di bawah rumah. Kami tadi mancing ikan,” Ryan menjelaskan.

“Kenapa aku tidak diajak ?” Kiki mengalihkan pembicaraan.

“Kata Ale kamu anak manja, tidak mungkin mau ikut mancing, sedangkan Meta dia memang bilang tidak  mau ikut,” Ryan pun menaruh pancingnya di sudut ruang makan.

“Hallo, ikannya sudah dibersihkan mak Limah, nanti kita tinggal makan buat buka,” suara Ale terdengar menuju ruang makan. Seketika Ale sampai di ruang makan, matanya terkejut melihat Kiki, “Aku kira Meta,”.

“Meta masih tidur,” Kiki menjawab gundah. “Hemmmm, bolehkah aku ikut kalian ke sungai lagi ?” Kiki jadi tertarik.

“Nanti sore saja, sambil kita mandi di sungai,” ajak Ryan.

“Katamu mau pulang ke Jakarta ???” Ale menggoda.

Besok saja !” Kiki menjawab ketus.

“Tidak usah, bersama kami saja lima hari disini,” usul Ryan. Kiki terdiam tidak menjawab.

“Akhirnya si anak manja tidak jadi pulang, dia sudah mau jadi orang Kalimantan Selatan, hehehehhee…………,” Ale mengolok-olok Kiki. Kiki yang jengkel segera mengejar Ale. Ale tidak mau kalah, dia berkelit seketika hampir ditangkap Kiki. Mereka terus berkejaran hingga ke seluruh tempat di rumah besar itu. Akhirnya kakek, nenek, dan Meta pun terbangun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun