Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kisah Selembar Uang Seratus Ribuan

4 Desember 2012   10:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:12 1046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1354627773144941448

[caption id="attachment_227530" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi / Admin (Shutterstock.com)"][/caption] Aku adalah selembar uang seratus ribuan. Tersusun rapi disatu rekening bersama lembaran yang lain. Aku sendiri sebenarnya bosan berlama-lama di ruang yang pengap dan berdesakan. Aku kadang iri dengan temanku yang beruntung bisa keluar, sementara aku tidak. Malangnya aku sudah hampir setahun mengendap dengan berlipat sabar bersama yang lain. Entahlah, mengapa aku tidak bisa juga menghirup udara luar. Bahkan sejak aku keluar dari tempat pencetakan uang, nyaris seumur hidupku belum pernah melihat kehidupan sesungguhnya. Memang sih, kata beberapa temanku yang lusuh, kumal, dan robek, bila sudah di tangan yang namanya manusia, bakal dijamin aku tidak akan mulus lagi. Masih untung jika hanya terlipat. Akan lebih parah bila sudah ditulis-tulis ataupun tanpa sengaja masuk ke bak cucian. Dijamin umurku tidak akan panjang. Ah, meski begitu, tetap saja aku ingin keluar dari ruang sesak rekening ini. Entahlah apa yang dipikirkan majikanku si pemilik rekening. Mengapa begitu lama membiarkan uang-uang disimpan tanpa belas kasihan. Belas kasihan ? Ya, tentu saja. Menurut bisikan teman-teman, uang-uang ini sebenarnya harus diberikan kepada yang berhak. Karena ini adalah uang insentif untuk para guru, sebagaimana amanat undang-undang. Tapi perduli apa dengan undang-undang, aku menggerutu. Aturannya sih, begitu laporan sudah disetor, uang akan segera dikeluarkan. Namun kenyataannya ??? Jadi, mungkin kami ini para uang masih harus disimpan lama agar bisa diternakkan supaya bisa berkembang biak. Atau, dipakai dulu untuk keperluan lain ? Siapa tahu ? Untuk pilkada misalnya, uff salah.......untuk sosialisasi dan pelatihan para guru, begitu maksudnya. Yaaahhh.............kesimpulannya, tetap harus bersabar hingga sampai dikeluarkan nanti. Nah....... itu sudah ada tangan-tangan yang mau mengambil segepok-segepok dari kami, para uang. Alhamdulillah, alangkah senangnya, bahagia bisa melihat warna-warni kehidupan juga akhirnya. Aku sendiri saking begitu riangnya hingga lupa telah sampai ke sebuah sekolah dan langsung dijemput tangan-tangan yang lain untuk segera dimasukkan ke dalam amplop-amplop. Wus, tak apalah, masuk ke amplop sebentar, tidak lama. Benar saja, begitu seseorang menerima amplop uang, aku langsung dikeluarkan. Satu demi satu kami pun keluar. Satu persatu dari kami pun berpindah tangan. Sekejap, amplop pun kosong. Aku yang tadinya bernyanyi-nyanyi gembira, kini hanya bisa terkesiap melihat tatapan guru itu yang kosong. Setelah amplop dibuang ke tempat sampah, guru itu hanya menyimpan beberapa lembar uang sepuluh ribuan di dalam dompetnya. Sedangkan aku dan teman-temanku sudah ada di tangan seseorang yang asyik menghitung laba. Aku pun tersenyum getir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun