Mohon tunggu...
burhan rayatullah
burhan rayatullah Mohon Tunggu... Editor - Kritik dan Otokritik Landasan Demokrasi

Cinta adalah Kunci

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Problem Kepemimpinan dalam Sinergitas TNI-Polri: Amankah Sidang Gugatan UU Ciptaker di MK?

7 November 2020   08:36 Diperbarui: 7 November 2020   08:39 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) sebagai sebuah elemen pekerja atau buruh pada tanggal 3 November 2020 mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) paska sehari Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) ditandatangani Presiden Joko Widodo. Tidak menutup kemungkinan, langkah sejenis diikuti unsur-unsur komunitas lain seperti parpol, mahasiswa, ormas, emak-emak ataupun mereka yang menggunakan jalur individu, yakni; politisi, pengusaha, akademisi, kepala daerah dll.

Banyak kelompok maupun perorangan menggugat lewat jalur hukum dan ini menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat semakin baik. Namun dalam tulisan singkat ini, penulis tidak membahas hal ini. Membahas pengamanan sidang gugatan di MK terasa lebih penting. Sebab, pengalaman sebelumnya, sidang di MK selalu disertai dengan pengetatan pengamanan. Selain itu berkaca dari pengamanan demonstrasi-demonstrasi sebelumnya, soliditas TNI-Polri di lapangan belum kokoh sebagaimana yang diwacanakan.

Implementasi dan Antiklimaks sinergitas TNI-Polri 

Mengawali jabatannya sebagai Panglima TNI pada Desember tahun 2017, Marsekal Hadi memperkuat sinergi dengan kepolisian yang Kapolrinya masih dijabat Jenderal Tito Karnavian. Begitu jabatan Kapolri jatuh pada Jenderal Idham Azis, sinergitas militer dan kepolisian tetap berlanjut serta ditingkatkan. Kedua aparat barangkali telah memperoleh penekanan dari Presiden agar tetap kompak.

Kekompakan sejak awal bertugas ini harus dibangun karena tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik. Namun, sinergitas di tingkat pimpinan tidak selalu berjalan mulus dan hambatan psikologis di tingkat bawahan muncul karena sinergitas kedua institusi selalu mengesankan "TNI membantu Polri". 

Polri memang menjadi ujung tombak, tetapi kata 'perbantuan' secara psikologis tidak menegaskan adanya pembagian tanggungjawab yang jelas di lapangan. Panglima TNI selaku pemilik otoritas pengerahan kekuatan biasanya akan memberikan kepercayaan perbantuan kepada AD, AL (marinir) atau AU (Paskhas). Hanya sesuai pengalaman perbantuan, pengerahan kekuatan selalu diprioritaskan dari AD. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, sebagaimana dua Kepala Staf lainnya, memainkan posisi yang penting.

Bagaimana sinergitas TNI-Polri kita nilai? Demo memprotes hasil Pilpres 2019 pada tanggal 22 Mei berujung rusuh dan mengakibatkan korban jiwa. Menurut klaim Gubernur Anies Baswedan terdapat 6 orang meninggal dunia. Selain itu juga terjadi pembakaran kendaraan milik warga dan aparat kepolisian serta penyerangan terhadap asrama Brimob.

Kerusuhan itu sengaja diskenariokan untuk membangun antipati dan kebencian kepada pemerintah dengan menyalahkan  petugas. Rentetan peristiwa anarkis tersebut adalah cerminan dari sinergitas yang tidak pernah berjalan mulus. Di satu sisi, ketika demo anarkis berusaha diatasi dengan penghadangan yang maksimal, kepolisian cenderung menjadi obyek kesalahan. Karena tugas TNI dilihat sebagai perbantuan, tugasnya seakan menjadi tersamar dan tidak mendapatkan tuntutan yang sebanding dari publik untuk menjaga keamanan. Malah dalam masyarakat, terjadi pembelahan antara kedua institusi di mana TNI cenderung mendapatkan simpati dan kepolisian malah sebaliknya. Bahkan simpati dan antipati tersebut turut dilakukan oleh prajurit, sebagaimana yang kita lihat dalam bukti yang beredar dalam demo tahun 2020 ini.

Demo tanggal 8 Oktober 2020 bertujuan mendesak pemerintah mencabut Omnibus Law UU Ciptaker yang sudah disahkan oleh DPR RI tanggal 5 Oktober dan menuntut Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Unjuk rasa tersebut berlangsung marathon sejak tanggal 6 Oktober hingga berakhir bentrok antara pendemo dengan polisi pada tanggal 8 Oktober yang terjadi di beberapa kota besar seperti Jakarta, Makasar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Medan.

Dalam demonstrasi, sejumlah pos polisi dan halte dibakar, fasilitas umum dan gedung DPRD dirusak, dan sejumlah coretan tidak senonoh di dinding fasilitas publik ditujukan kepada Jokowi. Hasil investigasi terhadap para perusuh yang tertangkap mengungkapkan adanya motif politik berupa hoax dan hasutan yang bersumber dari WhatsApp Grup Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) agar situasi demonstrasi berubah menjadi chaos. Mabes Polri mengamankan 8 aktivis KAMI di lokasi yang berbeda, di mana tiga dari delapan orang yang diamankan, yaitu Anton Permana, Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat, merupakan petinggi KAMI.

Namun di balik kinerja kepolisian yang sukses mengungkapkan dalang kerusuhan, beredar tiga macam video yang sangat bertentangan dengan komitmen sinergitas dari pimpinan TNI-Polri. Video satu menggambarkan umpatan dan makian prajurit karena kepolisian menembakan gas air mata hingga masuk ke dalam markas TNI AD. Video Dua menunjukkan seorang prajurit berpangkat kopral duduk di atas sepeda motor dengan pakaian loreng, menerima salam satu persatu dari pendemo sambil mengucapkan hati-hati dan jaga kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun