Magetan, 3 Nopember 2015
Sayup-sayup bunyi klenengan ( krawitan gamelan Jawa) dari tempat kami dan mbah Loso mengobrol setelah kedurinan. Suaranya semakin lama semakin keras, mungkin saja sudah para pengrawitnya sudah komplit, mbah Loso menyarankan kami untuk segera menuju ke tempat yang disarankanya. Segera kami berpamitan dan bersalaman dengan warga di sekitar punden Dayakan.
“Mangke panggenanipun sak wetane wangan, sak wetane wangan wonten kantor deso belok ngidul antawis 300 meter, ngajeng gerdu mengke wonten sabin lan wit gayam ageng, wonten mriku panggenanipun mas….” Kata mbah Loso sambil mengantarkan kami ke mobil, menurut mbah Loso tempatnya di sebelah timur menyeberangi wangan (saluran air, sungai kecil), setelah lewat wangan bertemu balai desa Pupus disuruh ambil kanan sampai gardu belok kanan, ada sawah yang ditengahnya pohon Gayam besar disitulah tempat Tledekan-nya. Kamipun segera mencari lokasi seperti yang disarankan mbah Loso.
Tak perlu waktu lama kami mencari alamat tersebut, segera saya memarkir kendaraan di tempat teduh. Kamipun berusah mendekat punden, rata-rata mereka keheranan dengan kehadiran kami, apalagi kami semua menenteng kamera dan tas ransel.
“Nyuwun sewu pak, kepareng nderek ningali pak? Dalem saking Ponorogo kolo wau dipun kabari mbah Loso Marokan menawi mriki bade woten tledekan..” Tanya saya kepada seseorang yang sedang sibuk mengurusi soud system.
“Monggo langsung mawon pinanggih mbah Kasun, monggo kulo derekaken.” Katanya sambil mengarah kan kami menuju pak Kasun yang sedang bercakap-cakap dengan penabuh kendang.
“Mase saking pundi? Monggo pinarak…” katanya dengan santun, sembari memberikan kursi plastic untuk kami duduki.
“Kulo asli Ponorogo, niku wau perjalanan saking Magetan lan kolo wau pinanggih mbah Loso lan dicritani menawi wonten punden Nggayam mriki wonten tledekan….”, jawab saya.
“Tledekan niki nguri-nguri tradisi leluhur, wit jaman mbah-mbahe rumiyin sampun wonten lan niki tumut-tumut nglestrarekne budaya Jawi ingkan adiluhung, monggo sami-sami mirsani, niki hajatane dusun dados sederhana, sanes kegiatane pemerintah daerah saenggo sak wontenipun mas…” kata pak Kasun yang maksutnya, teledekan ini diselenggrakan sebagai melestarikan tradisi, melestarikan budaya Jawa yang adiluhung, acaranya diselenggarakan oleh orang dusun bukan pemerintah daerah sehingga sederhana dan apa adanya.
Tak lama kemudian sesepuh dusun (mbah bayan sepuh) datang dan segera memimpin doa dan kenduri mirip yang di punden Dayakan. Setelah selesai kenduri makanan dibagi-bagi pada semua yang mau. Para warga dengan tertip mengantri bagian dan memakannya, sebagian warga lainnya membungkus makanan tersebut untuk dibawa pulang.
Selesai kenduri gamelan ditabuh kembali, tak berselang lama ada 2 mobil yang berhenti diujung pematang, mobil satu dari arah utara dan satunya lagi dari arah timur, keduanya menurunkan perempuan yang berpakaian kebaya dengan riasan mencolok begitu juga sanggulannya.