Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengasingan Diri Jamaah Tareqat Naqhsabandiyah dari Hiruk-pikuk Duniawi

2 Juni 2017   08:26 Diperbarui: 3 Juni 2017   07:38 2043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pemandangan khas ketika khalwat, bekal dan pakaian ganti dari jamaah yang rata-rata sudah sepuh

Khalwat orang menyebutnya, mirip iktikaf namun waktunya ditentukan dan dilakukan bersama-sama. 10 hari di bulan Rajab dan 10 hari di awal Ramadan. Seperti halnya yang dilakukan oleh jamaah Tareqat Naqhsabandiyah di masjid Durisawo Ponorogo. Masjid dan pondok pesantren peninggalan KH Abu Dawud, beliau adalah mursyid Tareqat Naqhsabandiyah. Orang Nologaten mengenal sebagai ahli ibadah dan ahli tirakat.

Para jamaah yang rata-rata beusia lanjut berdiam diri di masjid selama 10 hari. Mereka meninggalkan keluarga, sanak dan saudara selama waktu itu. Dengan membawa bekal sekedarnya. Mereka terus beriktikaf di dalam masjid, mendekat diri pada Allah. Kalau dahulu mereka memasak sendiri di belakang masjid mirip anak pramuka yang melakukan perkemahan, namun sekarang kebutuhan makan sudah dipersiapkan oleh bu Nyai (ibu pemilik pondok). Kata mbah Sakat ini lebih simple dan lebih fokus beribadah terutama menjelang makan sahur dan berbuka. Untuk urusan tidur mereka hanya tidur ketika tertidur, tidak ada niatan untuk tidur kecuali terlelap. Menurut mbah Sakat jamaah datang tak hanya dari Ponorogo saja. Kabupaten sekitar seperti Madiun, Magetan, Pacitan, bahkan dari Jawa Tengah.

Dahulu masjid dibikin petak-petak memakai kain kelambu, tiap orang berdiam diri didalam kotak tersebut. Hanya keluar ketika waktu sholat tiba, waktu makan tiba, atau ketika ke toilet ataupun berwudlu. Mereka hampir selalu dalam kondisi bersuci, setiap batal wudlunya segera berwudlu kembali. Meurut mbah Sakat kain kelambu tersebut sekarang digantikan sekat-sekat beroda. Lebih praktis ketika waktu sholat berjamaah tiba tingal menarik pebatas di area tengah. Menurutnya hal ini lebih prkatis dan lebih awet dibanding kain kelambu. Fugsinya sama dan lebih cepat, kalau dulu kain selambu dibentangkan memakai tali mririp jemuran di dalam masjid.

suasana saat sholat jamaah di masjid Durisawo
suasana saat sholat jamaah di masjid Durisawo
sekat-sekat yang lebih praktis menggantikan kelambu dari kain
sekat-sekat yang lebih praktis menggantikan kelambu dari kain
Para jamaah segera berbaur dengan jamaah masjid ketika waktu sholat wajib tiba, karena yang sholat di masjid ini tidak hanya jamaah tareqat saja. Nyaris tak terlihat kalau sebelumnya ada kegiatan khalwat. Pun begitu hal ini sudah terbiasa sejak masjid dan pondok mulai berdiri ratusan tahun yang lalu oleh mbah Abu (sebutan orang Nologaten kepada KH Abu Dawud).

Khalwat zahir, menjauh dari hiruk pikuk dunia. Mereka memencilkan diri selam 10 hari. Berpisah dengan istri atau suami, dengan anak saudara dan keluarga. Mereka menjauhkan diri dari keramaian. Mereka berusaha meredam nafsu keduniawiannya.

Mereka menjaga lidahnya (mengikat lidahnya istilah mereka) membatasi bicara, tidak akan bicara kecuali dzikir mereka. Mereka membatasi pandangan matanya, meraka hanya ingin memandang tuhan penciptanya. Meraka menutupkan matanya dari yang diharamkan agar pandangannya yang khianat dan menipu daya tidak jatuh ke atas apa yang dimiliki oleh orang lain. Mereka menutup telinganya dari mendengar pembohongan dan kejahatan, dan mengikat kakinya, membelenggunya dari pergi kepada dosa. Mereka benar-benar belajar mati, belajar sewaktu-waktu kematian menjemputnya, mereka siap seperti ketika orang sudah diletakkan dalam kubur.

Almarhum Pak Suyadi guru saya mengaji pernah mengatakan, mereka “bergua hiro’ di puncak kehidupan materialistik.” Bukan berarti sudah tidak butuh keduniaan, namun mereka memanajemen kehidupan, baik totalitas pada penciptanya, pada sesamanya, pada lingkunganya. Dan benar-benar siap lahir batin.

Sepi adalah sahabat, lebih akrab dengan keterasingan, teran pak Suyadi. Mengasingkan diri adalah benteng menghalang musuh bagi dosa diri sendiri dan kesalahan. Di dalamnya, sendirian, seseorang terpelihara di dalam kesucian.

Senada dengan almarhum pak Suyadi, Mbah Marwiyah mengatakan selama khalwat mereka membatasi pembicaraan, dan saat sahur dan buka mereka mengonsumsi sayuran (vegetarian).

Mereka membawa pakaian seperlunya, mereka juga membawa bekal sekedar. Menurut Mbah Marwiyah, ikut tarekat itu berat. Tak boleh banyak bicara, dan boleh menceritakan hal hal yang hanya menjadi wewenang gurunya.

Mereka terus berdzikir dalam diam, dan terus diam dalam dzikir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun