Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Wayang Kulit Berani Keluar Pakem untuk Bertahan

18 April 2016   11:20 Diperbarui: 18 April 2016   12:42 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dalang menari"][/caption]

Ada yang tak lazim ketika menonton pagelaran wayang kulit di kelurahan Mangkujayan Ponorogo pekan kemarin. Awalnya biasa-biasa saja namun ketika menginjak Limbukan tiba tiba dalangnya berdiri dan berjoget sambil memainkan wayangnya. Dia bergoyang seperti goyangnya penyanyi dangdut, mulai goyang ngecor, ngebor, patah-patah, goyang kayang, bahkan goyang dada yang sedang ngetrend seperti goyangnya dua serigala.

Penontonpun riuh, ketika pesinden didaulat untuk berdiri untuk ikut goyang. Untung panggung luas sehingga muat untuk goyang dalan dan seorang pesinden.

"Bupati Ponorogo ki kurang gawean lan boros golek dalang gendeng wae ngasi teko luar propinsi, dasar bupati anyaran durung ngerti yen neng Ponorogo onok dalang sing luwih gendeng, luwih sample, luwih edan....." kata si Dalang. Penontonpun ger geran tertawa. Kebetulan banyak undangan dari pejabat yang hadir diundangan suasana semakin ramai, dengan protes si dalang. Maklum pada pelantikan bupati sebelumnya diadakan pagelaran wayang yang dalangnya dari daerah Jawa Tengah.

Para pemuda kelurahan Mangkujayan yang menjadi panitia kegiatan sedari awal takut kalau pagelaran wayang ini sepi. Hujan sedari sore dan baru reda menjelang magrib. Dalang lokal biasanya sepi, dianggap begitu-begitu saja tidak ada yang menarik, kata mas Tarom yang menjadi tetua karang taruna.

"Luar biasa mas penontone soyo bengi soyo akeh, sampek parkire tekan cedak kuburan, dalan dadi macet, marem rasane yen iso rejo ngeneiki, mergo sore wis wawang bakalan sepi...." katanya. Luar biasa penontonnya banyak, semakin malam semakin ramai sampai jalanan macet, dan parkirnya sampai dekat kuburan yang jaraknya 1 km, padahal sorenya sudah kawatir takut tdak ada yang mau menonton.

[caption caption="pagelaran wayang kulit"]

[/caption]

[caption caption="Terampil dan cekatan, tangan bergerak,kaki bekerja, mulut terus berbicara"]

[/caption]

Pak Miskan jauh-jauh dari luar kecamatan menonton, dia bersama 10 orang temanya naik pikup terbuka segaja ingin melihat wayang ini. Menurutnya Ki dalang Yatno Gondo Darsono akhir-akhir ini sudah mulai berani keluar pakem. Kreasi serta kembangan (gaya) mirip dalang-dalan Jawa Tengahan yang syarat dengan kritik dalam lelucon. Dalang-dalang Jawa Tengahan banyak yang keluar pakem, sehingga tidak monoton, penonton tidak jemu.

Entah benar dan tidaknya, menurut pak Mispan kalau tidak ikutan dengan terobosan penuh kreasi tidak akan bakalan laku. Meski begitu kreasi tersebut hanya ditempatka pada Limbukan dan Punakawan. Hadirnya pelawak dan pesinden dari luar daerah kata pak Mispan menjadi daya tarik tersendiri. 

"Lumayan mas, gak mboseni..." katanya, lumayan tidak bikin bosan.

Terlepas benar tidaknya karena tidak sesuai pakem atau paugeran, paling tidak ada ikatan antara pekerja seni dan penonton. Buktinya penontonnya banyak, bukan hanya penonton tua, penonton remaja dan anakanakpun banyak, imbuhnya.

[caption caption="pengrawit"]

[/caption]

[caption caption="Tak ketinggalan kemajuan, pesinden dengan gatget terkini"]

[/caption]

"Yen gak melu edan gak kumanan...." kata dalang dalam dialeg sambil mengerakkan wayang buto (raksasa), katanya kalau tidak ikutan menggila tidak akan mendapat bagian. Harus menyesuikan jaman.

"Biyen sinden kerpekane godong lontar, elek eleke kertas gedok e e e.... saiki karo nyinden nyemak androidan....." kata ki dalang yang disambut tawa, dia menyindir pesindennya yang sedari awal terus memainkan androidnya. Dia mengatakan dulu pesinden jiplakan gending-gendingnya dicatat di daun lontar atau kertas, namun sekarang sudah dipindah di android.

Tembang-tembangpun sudah menyesuaikan dengan tembang yang sedang in..., gending yang sedang populer, hanya saja musiknya menyesuaikan dengan gamelan.

Para pengrawit atau nayogo harus ikutan menyesuaikan diri dengan lagu, tembang, gending yang sedang populer. Telinga orang sekarang lebih dominan dengan lagu-lagu baru kata pak Marno penabuh gender.

[caption caption="Tak hanya didominasi penonton dewasa, dihadiri penonton anak-anak dan remaja"]

[/caption]

[caption caption="pebuh inovasi agar bisa bertahan"]

[/caption]

Perkembangan dan inovasi ini tentunya bukan untuk menilai benar atau tidak. Ini hanya cara dalang untu bertahan agar pagelarannya tetap bisa berkenan dan menjadi daya tarik bagi penontonnya. Jaman terus berkembang, diapun harus menyesuaikan jaman dan penontonya. Keluar pakem dan tidaknya tergantung pada yang menilai, urusan disukai penonton adalah lebih menjadi priorotas kayaknya. Berusaha bertahan dari banjiran pekerja seni luar daerah, bahkan luar negeri lebih bijak dari pada berdiam diri.

 

*) salam budaya
*) salam njepret

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun