Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cerita Wedang Asem dan Ati Arab di Angkringan Lik Adi Jogja

24 Maret 2016   09:54 Diperbarui: 25 Maret 2016   02:26 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perlahan saya seruput.. Rasa asam tak lagi menyengat, perpaduan dengan manisnya gula pas. Asamnya seperti asem kawak (asam yang sudah ditimbun lebih setahun) sehingga rasa masamnya sudah banyak yang hilang. Perlahan wedang asam ini mengaliri kerongkogan, rasa gatal ditenggorokan disapu olehnya. Sesampainya di lambung masih terasa hangatnya, tak ada rasa perih meski sedari siang perutku belum sempat terisi. Hangat badan terasa meski dimasuki barang asam.

Saya sudah familier dengan minuman ini, zaman kecil saya ikut nenek saya. Setiap kali saya sakit panas atau flu dibikinkan wedang asem kawak. Hanya saja oleh nenk ditambahi kunyit sedikit katanya buat turun panas.

[caption caption="wedang jae asem"]

[/caption]

[caption caption="wedang asem jahe"]

[/caption]Saya berdiri lagi mendekat penjualnya, saya ingin merasakan wedang asem yang dikasih jahe (asem jahe). Saya tidak langsung duduk ke tempat duduk semula. Saya pengin memperhatikan cara pembuaatanya, saya ingin mencontek pikir saya. Mas yang berpeci tersebut membuka toples, dan mengengam sesuatu mirip remukan gula jawa (gula merah) yang sudah dihaluskan. Setelah itu dia mengambil perongkolan asem yang dia taruh pada toples yang berada di bawa meja, baru diseduh dengan air mendidih. Sambil berjalan ke temat duduk semula saya perhatikan lelaki agak tua sedang mengiris tipis tipis perongkolan gula merah di ruang agak belakang. Mungkin gula merah tersebur disisir sisir mengunakan pisau besar untuk menghaluskannya, sehingga ketika diaduk langsung larut tak menyisakan gula merah.

Rasa wedang asem jahe inipun luar biasa, begitu memasuki mulut, kerongkongan, sampai lambung, badan terasa hangat. Perlahan bulu kudu yang tadinya berdri terhipnotis kembali menempel pada kulit. Sampai kelupaan kalau baju yang saya pakai setengah basah karena kehujanan sebelum berteduh di warung ini.

[caption caption="Nasi bakar kemangi"]

[/caption]

[caption caption="puyuh goreng"]

[/caption]

[caption caption="aneka macam gorengan dan lauk"]

[/caption]Saya selalu memperhatikan oarang sekeliling saya ketika akan mengambil makanan, karena belum tahu jenis makanan yang ada. Setelah memperhatikan sekitar saya, barulah mengambl atau memesan.

Nasi bakar, saya langsung mengambil nasi bungkus yang di dekat penjualnya, daun pisangnya sebagian gosong hijau kehitaman, asap bekas bakaran masih kedul-kedul (keluar). Saya mengambil satu yang saya taruh pada piring anyaman rotan, perlahan saya buka bahu harum kemangi begitu menggoda, harum kemangi yang sudah lau akibat dibakar, sambal tomat terinya menjadi semakin meggoda. Nasi uduk, kemangi, sambal tomat dan teri menyatu dalam harum daun pisang yang dibakar.

Bermacam-macam lauk seperti burung puyuh, tahu bacem, tempe bacem, bakwan, dan goregan khas jogja lainya. Tingal pilih dan tingal ambl, dan nati tinggal bilang ke penjualnya apa saja yang dimakan. Sebaiknya jujur, kalaupun tidak jujur penjualpun gaka bakalan tahu tapi dosa.

[caption caption="tahu arab, ati arab"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun