Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kuda, Kegilaan, Mistifikasi

16 November 2020   19:02 Diperbarui: 16 November 2020   19:30 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

'Tapi dia sadar lagi, kesadarannya pulih di saat malam, dan ia berusaha bicara. Aku masuk ke kamarnya pada jam dua malam paginya untuk memberi dia air minum. Ketika aku menarik bebayang lampu ke sisi lain agar dia bisa melihatku, dia berteriak girang: "Elisabeth!". Kupikir bahaya sudah usai. Dia tidur beberapa jam setelah itu dan kukira ini akan membantunya pulih lagi. Tapi, wajahnya makin berubah, nafasnya kian susah: bayangan maut meliputinya. Lagi dia membuka matanya yang ajaib. Dia bergerak susah-payah, membuka mulutnya dan menutupnya lagi, seakan-akan dia punya sesuatu untuk dikatakan dan tergesa untuk menyebutkannya. Dan tampaknya bagi semua yang mengelilinginya wajahnya berangsur memerah. Kemudian getaran ringan; nafas yang dalam---dengan lembut, dengan tenang, dengan satu pandangan agung terakhir, dia menutup matanya untuk kali terakhir.' (Kisah ini bisa dilihat di buku besutan Frederick Copleton, S.J, Friedrich Nietzsche: Philosopher of Culture (1958)).

Sedikit banyak, ada nuansa kedewataan dalam narasi Elisabeth saat mendedahkan akhir riwayat kakaknya. Utamanya ihwal guntur dan kilat yang sambung-menyambung meningkahi badai menjelang Nietzsche berpungkas.

Saya teringat Iqbal yang meremehkan gagasan si gila Nietzsche yang ditepikan oleh Rumi, sang darwis penyair terbesar. Nietzsche memang bicara Zarathustra, dan merenungi "diri". Tapi, ia hanya menemui dirinya sebagai abyss (abgrund: Jerman). Dia menatap abyss, dan abyss pun menatap dirinya. Ujungnya, nihilisme. Namun, nihilisme Nietzsche tidak pesimis, ia memuja hidup.

Tak ada salahnya bila berandai-andai, andaikata Nietzsche hidup di "Timur" boleh jadi yang ditemuinya dalam puncak permenungan adalah bukan sekadar bersitatapan dengan abyss. Dia melebur dalam abyss, atau abyss itu menjadi dirinya. Tapi, begitulah, Nietzsche berpikir bahwa bila ia melebur dalam abyss, maka hidup akan bertukar jadi pesimis. Ia berasumsi bahwa ia akan menolak dunia. Ia adalah representasi kedirian yang berusaha mempertahankan ego.

Saya baca fragmen dari situs Henry Corbin legacy, di dalam Man of Light Iranian Sufism (1971), Corbin menyebut kegilaan Nietzsche bersumber dari "kegagalan inisiasi". Gagasan ini sepertinya menarik. Di satu fragmen bukunya Nietzsche ada menyebut tentang kebutuhannya akan guru selain juga murid. Nietzsche dibetot kebingungannya oleh Abyss. Serupa Narcissus yang tenggelam di danau tempat ia mengagumi kegantengannya sendiri.

Secara kasar, kalangan religius akan menyitir Nietzsche dan Marx sebagai simbol dekadensi Barat. Nietzsche dikenal sebagai "Sang Pembunuh Tuhan" dan Marx tersohor karena berkalam "Agama itu Candu". 

Di akhir hayatnya, Marx tidak gila, Nietzsche ya edan. Betul-betul edan yang bukan kiasan. Beberapa mungkin dengan gampang bilang, itulah hukuman, azab Tuhan pada Nietzsche. Apakah hanya sesimple itu? Kegilaan adalah azab? Bagaimana bila kegilaan itu adalah kebahagiaan Nietzsche? Nietzsche adalah orang gila yang bahagia. Menyauk Descartes, tak ada salahnya bila Nietzsche mendaku "Aku gila, maka aku ada".

Nietzsche adalah seorang pencari. Pencari yang hilang akal. Kuda terpecut merampas akalnya. Mengapa ini terlihat remeh? Kuda dan kegilaan.

Sejumlah penulis bilang bahwa kegilaannya adalah efek jangka panjang dari sipilis yang diderita Nietzsche. Meski ada juga yang menyanggah bahwa dia tidak menderita sipilis melainkan gonorrhea. Ini dua penyakit yang berbeda. Bila ditelusur lebih dalam lagi, penyakit Nietzsche didiagnosis sebagai efek dari perang yang lestari bikin dia mengidap warisan neuralgia, insomnia, masalah mata, dan gangguan pencernaan. Bukan tidak mungkin juga ada persoalan genetis mengingat bahwa ayahandanya meninggal muda karena penyakit otak.

Saat mudanya, masih di usia belasan, Nietzsche adalah sosok religius. Kawan-kawan sebayanya malah menjulukinya "pastor muda". Dia hampir selalu mencatat dan merenungkan kembali permainan-permainannya di masa kecil. Dia mencari makna. Bahkan, dia merasa sangat dekat dengan Tuhan. "Tuhan bergetar di dalam nadiku," ujarnya.

Copleton, sarjana Jesuit yang bukunya dikutip di atas menarik kesimpulan bahwa kegilaan Nietzsche berhubungan dengan raibnya keimanannya. Dia bilang begini, "The dark years of madness that came upon in the final period of his life may well have been due in part to the constant tension involved in denying and attacking a Faith which he felt to be confronting him with a claim that brooked no denial." Betulkah? Entah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun