Minggu malam (16/3/2025), saat saya menyalakan televisi, tampak di salah satu stasiun televisi milik keluarga Aburizal Bakrie, tengah disiarkan langsung acara peringatan Nuzulul Quran, sebuah peristiwa penting yang berkaitan dengan turunnya wahyu Allah yang pertama kepada Nabi Muhammad SAW.
Partai Golkar, tepatnya, yang menggelar acara tersebut, di kantor DPP Golkar, Jakarta Barat dalam rangka mengambil semangat dari turunnya Al-Quran serta memperkuat nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Saat itu, Sekjen Golkar, M. Sarmuji, menegaskan bahwa peringatan tersebut menjadi momentum untuk mendalami dan menerapkan ajaran Al-Quran dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam tata kelola partai dan pemerintahan.
Acara ini dihadiri oleh berbagai elemen partai, termasuk para menteri Kabinet Merah Putih dari Partai Golkar, Dewan Kehormatan, Dewan Etik, serta para sesepuh partai. Selain itu, masyarakat umum dan anak yatim juga turut diundang untuk merasakan kebersamaan dalam perayaan ini. Kegiatan ini melibatkan sesi pembacaan Al-Quran, tausiyah dari ulama, serta doa bersama yang bertujuan untuk memperkuat spiritualitas dan mempererat solidaritas di antara peserta.
Pelaksanaan malam Nuzulul Quran oleh Partai Golkar mencerminkan upaya mereka dalam mengharmonikan politik dan nilai-nilai keagamaan. Sarmuji menekankan bahwa Al-Quran adalah pedoman bagi umat manusia, sehingga penting untuk selalu dipelajari dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengadakan acara ini, Partai Golkar berharap dapat meningkatkan kesadaran religius sekaligus memperkuat hubungan dengan masyarakat luas.
Dalam konteks demokrasi, partai politik memiliki fungsi penghubung antara masyarakat dan pemerintah. Partai politik bertanggung jawab untuk menyampaikan aspirasi rakyat, mengembangkan kebijakan publik, dan memastikan bahwa pemerintah beroperasi sesuai dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan.
Di sisi lain, partai politik tidak jarang memanfaatkan simbol-simbol keagamaan untuk meningkatkan citra mereka sekaligus menarik simpati publik. Fenomena ini, yang kemudian disebut sebagai politik identitas berbasis agama yang menimbulkan perdebatan etis dan konsekuensi sosial yang serius.
Dalam politik, istilah politik identitas mengacu pada cara-cara yang digunakan partai politik untuk menarik dukungan berdasarkan faktor-faktor identitas tertentu, seperti agama, suku, dan ras. Dalam hal agama, partai politik sering kali mengadakan acara yang berkaitan dengan agama, menggunakan retorika yang berkaitan dengan agama, atau bahkan menggunakan tokoh-tokoh agama sebagai alat legitimasi politik mereka.
Contoh konkret dari praktik di atas adalah kala partai politik mengadakan seremoni keagamaan, misalnya istigosah, Maulid Nabi, atau yang paling hangat adalah peringatan Nuzulul Quran, kemarin, yang diselenggarakan Partai Golkar. Dalam konteks tertentu ia adalah media dalam rangka membentuk opini publik bahwa partai tersebut sejalan dengan nilai-nilai keagamaan. Keuntungannya, partai politik mendapatkan pengaruh yang luar biasa, yaitu elektabilitas partainya menjadi meningkat. Â
Dalam perspektif politik, upaya yang dilakukan oleh Partai Golkar di atas sejalan dengan teori politik Niccolo Machiavelli. Machiavelli dalam bukunya The Prince menekankan bahwa penguasa yang cerdas harus mampu memanfaatkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, termasuk dengan menampilkan citra moral dan religius yang baik di mata rakyat.