Mohon tunggu...
Iip Rifai
Iip Rifai Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Penulis Buku PERSOALAN KITA BELUM SELESAI!, 2021 | Pernah Belajar @Jurusan Islamic Philosophy ICAS-Paramadina, 2007 dan SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mudik, Geh!

9 Mei 2021   16:49 Diperbarui: 9 Mei 2021   18:23 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gonjang-ganjing larangan mudik menjelang Idulfitri oleh pemerintah, tak berlaku bagi saya. Saat jutaaan manusia dengan segala argumentasi dan pembenaran meminta mudik, saya justru dengan leluasa bisa mengunjungi dan menengok kampung halaman, yang telah lama ditinggal. Selain bisa bertemu dengan orang tua, saudara dan keluarga besar yang tinggal di kampung, saya juga bisa bercengkerama dengan teman-teman masa kecil yang sepantaran sembari ngobrol dan ngopi-ngopi setelah selesai salat tarawih, yang tersisa tinggal dua atau tiga kali lagi di akhir ramadan ini.

Saya termasuk orang yang dikecualikan dalam larangan mudik di atas. Saya bisa mudik bukan karena mendapatkan hak istimewa dari Pak Jokowi, selaku kepala negara, tapi karena tempat tinggal saya sekarang masih satu kabupaten atau kota.

Jarak tempuh dari rumah saya yang berada di kota dengan kampung halaman tercinta kurang lebih 30 menit (40-50 km) dengan berkendara roda dua atau empat. Saya, dalam konteks ini, termasuk pemudik lokal. Sangat wajar dan rasional jika saya bisa mudik tanpa SKIM, sekatan jalan, cek poin, halangan dan rintangan lain yang dijaga ketat para aparat kepolisian.

Mudik, sejatinya media untuk menukar kekangenan--dan hal-hal lain yang bersifat sosiologis, psikologis bahkan sakral karena di dalamnya memuat kegiatan religi dan budaya--dengan orang tua, saudara, kerabat, teman dan lainnya. Namun tahun ini, kegiatan mudik tersebut tak diperbolehkan pemerintah karena alasan spesifik, yaitu dalam rangka ingin jauh terhindar dari lonjakan penyebaran virus Covid-19 yang selama ini sudah lumayan ditekan. Lihat saja data mutakhir tentang pasien yang terpapar virus dari Satgas Nasional Covid-19 atau Kementerian Kesehatan RI yang kian menurun dari tahun sebelumnya. 

Kesempatan mudik tanpa banyak syarat yang saya peroleh, tentu menjadi kebahagiaan tersendiri di tengah jutaaan manusia, di belahan nusantara, yang justru bernasib sebaliknya. Lihat saja, misalnya, para ASN yang mendapat "ancaman khusus" dari atasannya jika memakasa dan ketahuan mudik. Mereka, selain dilarang mudik, juga tak mendapatkan cuti bersama pralebaran. Mereka tetap berdinas hingga H-1. Sebuah upaya maksimal agar mobilitas manusia bisa dipantau yang kemudian penyebaran virus Covid-19 bisa dikendalikan.

Sebuah kebijakan, tentu, mengandung konsekuensi. Ada kebaikan dan kemaslahatan yang ingin dikehadaki bersama, yaitu segera terbebas dari penyebaran virus Covid-19 yang sangat dahsyat.

Dalam konteks di atas, saya, sama sekali, bukan hendak menilai sisi positif atau negatif kebijakan pelarangan mudik oleh pemerintah terhadap warga negaranya. Saya di sini, justru, ingin mengantarkan kepada Anda soal tradisi lokal yang biasa dilakukan warga kampung saya sehari sebelum lebaran tiba, khususnya menjelang berbuka.

Selain itu, saya juga ingin mengenalkan kepada Anda panganan yang berada di kampung saya untuk keperluan menghadapi lebaran. Ia macamnya banyak dan beragam. Panganan yang biasa saya nikmati sejak kecil hingga sekarang. Panganan yang khas, rasa yang khas, juga metode pembuatannya yang khas pula.

Saya dilahirkan di sebuah kampung kecil yang lumayan jauh dari pusat Kota Serang, Banten. Tepatnya, di Kampung Gunung Buntung, Kramatlaban, Padarincang. Sebuah kampung di mana saya dulu menyelesaikan sekolah dasar dan menengah tanpa mengecap aliran listrik, apalagi jaringan telepon serta sentuhan pembangunan infrastruktur lainnya yang memadai. Sedih, pokoknya, jika Anda memaksa saya untuk memaparkannya. Pula, bukan itu poinnya.

Ada satu tradisi yang telah berlangsung semenjak saya lahir, bahkan jauh sebelumnya, di mana sehari sebelum lebaran (H-1), warga kampung, seperti warga Indonesia lainnya, berbelanja untuk kebutuhan esok, di hari raya. Yang unik adalah pembagian peran saat berebelanja. Kaum ibu biasanya berbelanja kebutuhan dapur pada umumnya; bumbu dapur, sayuran, ikan, ayam, buah, dan sejenisnya. Sedangkan kaum bapak mendapatkan tugas khusus untuk membeli daging kerbau.

Daging kerbau tersebut hanya ada dan tersedia saat momentum di atas. Ia tak dijual di hari-hari ramai pasar umumnya (Senin-Kamis). Soal harga pasti lebih tinggi dari daging sapi. Untuk mendapatkan daging kerbau yang berkualitas dan segar, kaum bapak harus jauh lebih pagi datang di pasar. Saat saya kecil, abah (baca: ayah) saya biasanya berangkat ke pasar setelah salat subuh untuk kepentingan di atas; mendapatkan daging kerbau yang berkualitas dan segar. Tujuan lainnya agar tak kehabisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun