Mohon tunggu...
BungRam
BungRam Mohon Tunggu... Konsultan - Pemerhati pendidikan, konsultan program pendidikan

Book lover, free traveller, school program consultant, love child and prefer to take care for others

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Asesmen Nasional, Perubahan Paradigma dan Penghapusan UN atau Penggantian "Jaket" UN?

13 Oktober 2020   04:52 Diperbarui: 13 Oktober 2020   05:40 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pemikiran tentang penghapusan Ujian Nasional kini mulai menggambarkan bentuknya yang lebih kongkret. Sejak tahun 2005, wacana penghapusan UN sudah digaungkan. Masukan serta pandangan tentang perlunya UN ditiadakan dari para pakar dan pemerhati pendidikan nasional terus disampaikan kepada pihak yang berwenang dalam pengambilan keputusan tersebut, mulai dari kementerian pendidikan hingga kepada presiden.

Tarik ulur dan perdebatan tentang keberadaan UN serta tujuan diadakan UN selalu menjadi wacana yang berputar-putar, dan seperti asap, menguap seiring berjalannya waktu, kemudian dimunculkan kembali saat pergantian pejabat di kementerian, lalu untuk memberikan sinyal bahwa pemerintah terus mendengar suara dari rakyatnya, pelaksanaan UN pun diolah sedemikian rupa. Namun tanpa menghilangkannya sama sekali.

Mulanya UN dilaksanakan  pemerintah untuk bisa mengukur kualitas pendidikan di suatu daerah. Nantinya, nilai UN inilah yang akan dijadikan gambaran untuk memetakan kebijakan pendidikan di daerah. Dalam kacamata keadilan dan pemerataan pendidikan justru UN dipandang oleh masyarakat sebagai salah satu bentuk "penjajahan" atas hak warga untuk mendapatkan  pendidikan yang layak. Karena standarisasi pendidikan tidak berbanding lurus dengan pemerataan akses dan sarana prasarana pendidikan serta kesejahteraan.

Pemerintah selalu menggunakan istilah "alat ukur"  kualitas pendidikan dan pemerataan pendidikan secara nasioanl dari program Ujian Nasional ini. Sementara realisasi di lapangan UN adalah alat proses seleksi untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan mungkin di lapisan yang lebih bawah UN adalah "proyek akhir tahun" bagi mafia pendidikan dan pecinta praktik  'pungli'. Dan akhirnya kegiatan UN malah membuat tujuan pemerintah "jauh panggang dari api".

Kini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim lewat serangkaian program 'merdeka belajar'nya terus membuat jalur  terwujudnya  realisasi semangat pemerataan hak pendidikan tersebut. Wacana "merdeka belajar" melahirkan guru dan sekolah yang merdeka dalam mewujudkan tujuan pemerataan kualitas pendidikan.  Dimana sebelumnya melalui UN,  dahulu sering dijadikan tameng  supaya "penjajahan" pendidikan itu langgeng hanya lewat perubahan istilah, dan dialektika administratif.

Ujian Nasional (benar-benar) akan dihapus, atau hanya diubah istilahnya saja?

Diskursus tentang Ujian Nasional sejatinya bicara tentang paradigma pendidikan, khususnya pendidikan nasional kita. Pendidikan, sesuai amanat Undang Undang Dasar 1945 telah tetap menjadi hak setiap warga negara Indonesia yang tidak bisa ditawar oleh pemerintah yang berkuasa, mulai dari tingkat pusat, hingga daerah. Pendidikan bukan hanya bicara kualitas akademik peserta didik yang selama ini jadi standar umum keberhasilan anak bangsa dalam menjalani proses menuju kehidupan yang sejahtera. Oleh karenanya tanggungjawab pemerintah untuk memenuhi serangkaian tanggungjawab dari amanah Undang Undang Dasar tersebut melingkupi semua aspek dasar dalam pendidikan, mulai dari kognitif, afektif dan psikomotor. Karena tujuan pendidikan nasional beranjak dari dasar pemikiran tentang pemenuhan unsur pendidikan tersebut.

Kemudian seiring dengan perkembangan zaman, wacana pendidikan sebagai salah satu syarat 'human capital' yang harus dimiliki oleh setiap manusia, generasi setiap bangsa, paradigma pendidikan haruslah diupayakan meningkat dan terwujud dalam realisasi kongkret, lewat kemauan dan tanggungjawab pemerintah dalam memenuhi hak warganya. Pendidikan bukan lagi dipandang alat menciptakan para pekerja industri, seperti yang selama ini orientasi pendidikan adalah melahirkan anak-anak "cerdas" secara akademik. Indikatornya ialah nilai ujian bertaraf nasional -UN.  Muaranya adalah keberhasilan masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, memenuhi capaian dari semangat pemenuhan wajib belajar 12 tahun. Lalu bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan atau kesempatan melanjutkan hingga perguruan tinggi, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan industri sebagai pekerja buruh atau level operator.  Di sana pemerataan pendidikan dan kesejahteraan akan muncul diagramnya secara kontras. Karena semangat belajar, atau tujuan pendidikan bukan  lagi mewujudkan pribadi-pribadi yang "beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab", seperti  yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Namun untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup warga agar bisa bekerja menafkahi diri dan keluarganya sesuai kondisi daerahnya masing-masing.  Secara sederhana saya mengatakan semangat pendidikan tidak lagi untuk melahirkan warga yang kreatif, mandiri dan demokratis, tapi semangat pendidikan adalah untuk mewujudkan pribadi-pribadi yang siap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena di sana pemerintah alfa memenuhi kebutuhan hidup warganya!

Semangat mewacanakan kembali penghapusan Ujian Nasional lewat kementerian pendidikan dimulai dari "mengganti istilah" dari 'Ujian Nasional' menjadi 'Asesmen Nasional' yang rencananya akan dieksekusi tahun 2021 nanti.  Ya, cara-cara ini memang cukup manjur untuk membuat eskalasi tuntutan para pemerhati dan akademisi mengkritik kebijakan pemerintah dalam ranah pendidikan menjadi menurun dan kemudian wacana itu lebih mudah diterima dalam praktiknya, meskipun substansi Ujian Nasional seperti sebelumnya belum mengalami perubahan secara signifikan. Semoga kali ini pak menteri sunguh-sungguh tentang  hal tersebut, yaitu mengubah paradigma pendidikan lewat peniadaan UN, bukan sekedar mengganti istilah UN.

Tiga bagian Asesmen Nasional

'Asesmen Nasional' sebagai pengganti Ujian Nasional, adalah wacana yang diangkat oleh Nadiem Makarim dalam kelanjutan program Merdeka Belajar-nya. Menurutnya, Asesmen Nasional tidak hanya dirancang sebagai pengganti Ujian Nasional dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional, tetapi juga sebagai penanda perubahan paradigma tentang evaluasi pendidikan. Perubahan mendasar pada Asesmen Nasional adalah tidak lagi mengevaluasi capaian peserta didik secara individu, akan tetapi mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun