Tidak jarang juga aku yang ketika itu masih bocah mudah sekali untuk menitikan air mata di kala jam - jam istirahat sekolah sedang berlangsung, bahkan saat aku bermain dengan teman sebaya di lingkungan rumah pun, sering terjadi penolakan oleh mereka kepadaku untuk sekadar bermain atau bergabung dengan mereka.
Itu terjadi sudah belasan tahun yang lalu, dan luka itu masih tersisa di dalam hati ini. Dengan munculnya kejadian sekarang ini aku mengerti dan merasakan apa yang dirasakan oleh Mahasiswa Papua tersebut. Bukan hanya karena aku bersimpati, tapi karena aku sendiri mengalami apa yang dialami oleh mereka. Wajar kurasa bila warga Papua bereaksi atas kejadian tersebut (terlepas dari keinginan Papua Barat ingin merdeka sendiri).
Menurutku, di umur Indonesia yang sudah 74 tahun merdeka ini, baru negaranya saja yang merdeka, BELUMÂ bagi mereka para "oknum" yang masih anti dengan perbedaan, bagi mereka yang begitu fanatik dengan agama, dan BELUM bagi mereka yang masih memandang bahwa Hitam Kulit dan Keriting Rambut itu adalah monyet.
Bukankah "Hitam" yang kausebut itu adalah bagian dari warna -- warni yang ada di dunia ini? Bukankah "Keriting" juga adalah bagian dari sekian banyaknya model rambut -- rambut indah yang menghiasi kepala manusia?
Jika kau tak bisa menghargai mereka sebagai "warga negara", hargailah mereka sebagai "manusia". Meskipun "monyet" yang kau ucapkan adalah mahluk hidup juga, tapi derajat "Manusia" lebih tinggi dari monyet.
G. R. Lomi, 23 -- Agustus -- 2019.