Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Enggak Butuh STB karena Sudah Lama Tinggalkan Televisi

3 November 2022   23:53 Diperbarui: 4 November 2022   10:33 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi TV digital. Masyarakat yang tinggal di daerah berikut harus beralih ke TV digital setelah penerapan ASO tahap 2 di Jawa Timur.(istimewa via kompas.com)

SEBAGAI generasi milenial alias Generasi Y, seharusnya saya akrab dengan televisi. Namun keadaan justru membuat saya tidak terlalu dekat dengan teknologi satu ini. Malah kemudian duluan meloncat ke internet dan tak pernah bisa lepas darinya.

Lahir di awal era 80-an, masa kecil saya adalah momen di mana dunia pertelevisian tengah menggeliat di Indonesia. Tidak seperti ayah-ibu saya yang "dipaksa" hanya menonton TVRI dengan Dunia dalam Berita, Berpacu dalam Melodi, Aneka Ria Safari, juga Album Minggu.

Kalau kemudian ada selingan berbeda, itu berupa serbuan film-film India suguhan TPI. Itu lo, stasiun televisi yang pas awal-awal siarannya nebeng di frekuensi TVRI. Bukan cuma nebeng, bahkan nyelip di susunan acaranya TVRI.

Hanya dua stasiun televisi itulah yang diketahui ayah dan ibu saya dulu. TVRI milik Pemerintah dan TPI milik Mbak Tutut. Eh, salah, maksudnya milik swasta.

Berkebalikan dengan itu, saya menyaksikan belasan televisi swasta lahir dan tumbuh besar sejak masa kecil. Trio RCTI, SCTV dan Indosiar, misalnya. Atau yang lebih terkini adalah Trans TV dan Metro TV. Lalu menyusul tvOne, Trans 7, RTV, NET, dan masih banyak lagi.

Saya saksikan pula stasiun televisi yang sempat jaya, tetapi kemudian menghilang dari peredaran. Salah satunya adalah stasiun tivi yang membuat saya menyukai Liga Inggris dan juga Liverpool FC, yakni TV7 milik Kelompok Kompas Gramedia.

Ilustrasi via analyx.com
Ilustrasi via analyx.com

Sayang, televisi kesayangan saya ini kemudian diakuisisi oleh Trans Corp. dan bersulih nama menjadi Trans7. Liga Inggris-nya lenyap, tetapi untung saja porsi tayangan pendidikannya masih terhitung cukup jika dibandingkan dengan televisi swasta lain.

Masih ada yang ingat dengan Lativi? Atau Bloomberg Indonesia, televisi franchisee yang membawa nama besar jaringan global tetapi hanya seumur jagung mengudara di negara ini?

Lebih Suka Internet

Meski ada sedemikian banyak stasiun televisi lahir dan menyuguhkan ratusan program acara setiap hari, saya hanya menghidupkan pesawat tivi hanya jika hendak menonton pertandingan sepak bola dan program berita. Selain itu mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun