Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kenangan Naik Kereta Api Jogja-Banyuwangi: Pergi Pagi-Pagi, Sampainya Tengah Malam

20 Oktober 2022   14:14 Diperbarui: 3 November 2022   17:00 1369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Patung Gandrung di kawasan wisata Watudodol, Banyuwangi. |Foto: Dokumentasi pribadi

YOGYAKARTA akhir tahun 2002. Ibu saya memberi kabar siang itu, via telepon selular dari Jambi kepada saya yang tengah merintis karier sebagai resepsionis di sebuah hotel di Prawirotaman. Kata beliau, pakde saya akan pulang kampung ke Wonorejo, Situbondo. Kalau bisa, saya diminta turut serta bersama beliau sekeluarga.

Pakde saya itu bermobil dari Batumarta VI, sebuah kawasan transmigrasi di Kabupaten Ogan Komering Ulu (kini masuk ke OKU Timur pascapemekaran wilayah), Sumatera Selatan. Karena masih ada tempat, tidak masalah jika saya ikut serta.

Meski Ibu berkata "kalau bisa", tetapi saya tahu itu merupakan sebuah titah. Perintah yang didasari keinginan beliau sejak lama sekali. Keinginan yang beliau sampaikan ke kami anak-anaknya sejak saya masih kelas 3-4 Sekolah Dasar.

Bertahun-tahun Ibu memendam keinginan untuk mengajak saya dan adik-adik mengunjungi Wonorejo. Ibu sendiri sejak meninggalkan tanah kelahirannya itu puluhan tahun sebelumnya, belum pernah lagi kembali ke sana sampai saat itu.

Ibu dan seluruh saudaranya lahir di Wonorejo, sebuah kampung di dekat Kali Bajulmati yang jadi perbatasan Situbondo-Banyuwangi. Jalan masuk menuju kampung Ibu bersebelahan dengan pintu gerbang Taman Nasional Gunung Baluran.

Karena mendiang kakek "berulah", nenek saya memilih pergi ke Sumatera. Anak-anaknya lantas menyusul satu per satu, termasuk ibu saya yang ketika itu memilih meninggalkan pendidikannya di kelas II SMP.

Tersisalah dua anak terkecil kakek-nenek saya di sana, adik-adiknya Ibu. Anak bungsu kemudian dibawa ke Sumatera pula, sehingga satu-satunya yang menetap di sana adalah paman. Paman ini istilahnya adik landes, adik yang lahir tepat setelah Ibu.

Rumah paman itulah yang akan jadi jujugan rombongan Pakde di mana saya turut serta. Saya pernah bertemu dengan paman ini sekali, sewaktu beliau datang ke Batumarta dan keluarga kami masih tinggal di sana.

Dengan saya ikut rombongan Pakde, bakal jadi pertemuan kedua dengan paman tadi. Sekaligus pertemuan pertama dengan Bulik, istri beliau, juga kedua sepupu saya yang waktu itu masih anak-anak.

Orang-orang perbatasan Situbondo-Banyuwangi pasti tahu batu besar di tengah jalan ini apa.|Foto: Dokumentasi pribadi
Orang-orang perbatasan Situbondo-Banyuwangi pasti tahu batu besar di tengah jalan ini apa.|Foto: Dokumentasi pribadi

Perjalanan Melelahkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun