Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Pelajaran dari Mantan Juara Piala AFF U16 Sebelumnya

15 Agustus 2022   18:00 Diperbarui: 17 Agustus 2022   09:00 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas U16 Indonesia bersama Menpora Zainudin Amali (tengah) merayakan kemenangan seusai mengalahkan Vietnam saat laga final AFF U16 2022 di Stadion Maguwoharjo, Sleman, D.I Yogyakarta, Jumat (8/12/2022). (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko via kompas.com)

Namun yang seperti Marselino, Ronaldo, Ernando, Elkan, dan Ramai ini kasus 1 berbanding 100, kalau tidak malah hanya 1 dari 1000. Sesuatu yang amat sangat jarang sekali terjadi. Terlebih jika pengurus federasi lebih peduli pada gelar ketimbang pembinaan pemain.

Marselino, Ronaldo, Ernando, Elkan, dan Ramai dapat memperkuat timnas yang lebih senior karena dinilai mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Bahkan dianggap melebihi pemain di posisi sama yang berusia lebih tua darinya. Karena itu mereka diberi kesempatan.

Untuk mencapai hal tersebut, rasa cepat berpuas diri adalah pantangan besar. Sebaliknya, seorang pemain muda musti terus-terusan merasa lapar. Harus senantiasa melatih dan meningkatkan kemampuan agar menjadi sosok istimewa sehingga dilirik pelatih di level usia lebih tinggi.

Walau tidak dimainkan semenit pun, terpilih memperkuat timnas level usia di atasnya tetap saja sebuah kebanggaan bagi seorang pemain junior. Setidaknya dia sudah turut merasakan atmosfer di timnas yang lebih senior, yang sedikit-banyak pasti berbeda.

Jika pelatihnya berlainan--di mana biasanya pelatih timnas level usia lebih tinggi adalah sosok lebih berpengalaman, ini juga menjadi sebuah keberuntungan penting secara teknikal. Jadi, dimainkan atau tidak tetaplah menguntungkan bagi si pemain.

Belajar dari Ernando

Anggota skuat timnas Indonesia U16 yang baru saja jadi juara wajib menengok ke masa lalu. Mereka harus belajar pada perjalanan karier pendahulu mereka, yakni 23 pemain pilihan Fakhri Husaini yang meraih trofi Piala AFF U16 pada 2018.

Dari 23 pemain tersebut, hanya 11 yang kemudian sukses menembus training center timnas U19 dua tahun berselang. Artinya, separuh lebih dari para juara itu kalah bersaing dari pemain lain ketika hendak menembus timnas level usia lebih tinggi.

Dengan kata lain, menjadi juara di level U16 bukanlah jaminan seorang pemain dapat terus terpilih memperkuat timnas. Satu-satunya jaminan adalah kualitas permainan si pemain itu sendiri.

Apakah kemampuan si pemain terus berkembang selepas kompetisi? Apakah justru terlihat sudah berpuas diri sehingga tidak lagi punya semangat dan daya juang tinggi?

Nama Ernando Ari Prasetyo layak disorot sebagai contoh di sini. Kiper muda ini merupakan anggota skuat timnas Indonesia U16 yang meraih gelar juara Piala AFF tahun 2018 di bawah asuhan Fakhri Husaini.

Ketika Fakhri dipercaya menangani tim U18 di ajang Piala AFF U18 tahun 2019, nama Ernando kembali masuk dalam daftar pemain pilihannya. Kiper muda ini menjadi pilihan utama Fakhri dan dimainkan pada partai-partai penentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun