Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Pujangga Hasan Junus dalam Kenangan

9 April 2012   01:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:51 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Oleh drh Chaidir

PUJANGGA Hasan Junus telah berlayar meninggalkan dermaga, sendirian di samudera sepi tak bertepi, dan tak akan pernah kembali. Pepatah Latin, verba volant scripta manent, sangat tepat menggambarkan eksistensi sosok Hasan Junus. Kata-kata lisan itu bisa terbang hilang melayang, mudah dilupakan, sebaliknya apa yang ditulis akan tetap tinggal.

Karyanya dalam berbagai genre yang lahir dari kecendekiawanan, kecerdasan, kepedulian dan kesetiaannya kepada sastra berupa puisi, cerpen, naskah sandiwara, novelet, esai, kritik sastra mengalir deras semasa hidupnya. Tulisannya bertebaran dimana-mana, dalam bentuk buku, berbagai majalah dan surat kabar.

Hasan Junus memang terlahir sebagai seorang pujangga. Intelektual Melayu, Abdul Malik, sebagaimana dimuat www.tamadunmelayu.info (22/10/2011) menulis, "di dalam diri Hasan Junus mengalir darah kepengarangan Raja Ali Haji, pujangga terkenal Melayu, pahlawan nasional, dan Bapak Bahasa Indonesia. Kakek dari ayahanda Hasan Junus, Raja Haji Muhammad Junus adalah Raja Haji Umar tak lain tak bukan adalah saudara kandung Raja Ali Haji. Kedua orang itu adalah Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua. Bukankah Engku Haji Tua adalah seorang pengarang?" Abdul Malik selanjutnya menyebut, Aisyah Sulaiman, pengarang dan pejuang marwah perempuan adalah ibu saudara dua pupu Hasan Junus.

Darah kepujanggaan Hasan Junus itu memperkuat dalil dalam pepatah Latin lainnya, Poeta nascitur non fit. Pujangga itu dilahirkan bukan dibentuk. Oleh karena itu Hasan Junus tak akan tergantikan. Penguasaan bahasa asing seperti bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman yang diperolehnya secara otodidak memungkin Hasan Junus melakukan "pengembaraan" intelektual untuk mendalami karya sastra barat. Oleh karena itu tak berlebihan bila budayawan Prof Dr Yusmar Yusuf menyebut, "Dia adalah samudera pengetahuan bagi Melayu. Dalam diri Hasan Junus bertemu segala sayap Bumi: ya Barat ya Timur. Semua berjalin menjadi satu jahitan mengukuhkan identitas Melayu. Hasan Junus mewarisi segala khazanah kebudayaan dunia: Timur setimur-timurnya, Barat sebarat-baratnya, dengan tidak meninggalkan setitik pun sumber mata air Melayu itu." (Riau Pos, 1/4/2012). Artinya, kendati Hasan Junus banyak memberi apresiasi terhadap sastra Barat, dia tetaplah seorang pujangga yang sangat sadar akan jati dirinya sebagai pewaris tradisi kepengarangan di negerinya. Sejarah Kesultanan Riau-Lingga tersohor bukan karena keberaniannya menghunus pedang, tetapi oleh agenda kesusasteraan.

Hasan Junus bukanlah pujangga yang berkarya sekadar berkarya. Namanya tak hanya dikenal di peringkat daerah Kepulauan Riau dan rantau Riau, tetapi juga dikagumi di persada nusantara, bahkan sampai ke luar negeri. Oleh karena itulah pecinta kesusasteraan nusantara menyebutnya sebagai Paus sastra Indonesia, menyandingkannya dengan HB Jassin. Hebatnya, Hasan Junus tidak hanya menulis esai kritik sastra seperti HB Jassin, tapi ia juga menulis puisi, cerpen, novel dan naskah drama. Cerpen karyanya, Pengantin Boneka, misalnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jeanette Lingard dan diterbitkan dalam Diverse Lives-Contemporary Stories from Indonesia oleh Oxford University Press (1995), sebuah penerbit bergensi di dunia. Bukunya Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau, diterbitkan oleh penerbit Adicita, Yogyakarta (2003) yang ditulis bersama Abdul Malik, Tenas Effendy, dan Auzar Thaher, kini menjadi bacaan di Australia dan dikoleksi oleh National Library of Australia. (Abdul Malik, www.tamadunmelayu.info 22/10/2011)

Hasan Junus memiliki dedikasi yang sangat tinggi terhadap sastra, tak ada yang meragukan sama sekali. Di usianya yang sudah senja dan kesehatan mulai menurun, selama beberapa tahun terakhir ia masih rajin menulis secara kontinyu. Rubrik esai sastra Rampai Pujangga Hasan Junus yang terbit setiap hari Ahad di harian pagi Riau Pos, yang ditulisnya dengan bahasa sangat menarik penuh frasa berona (colorfull word), tak akan pernah lagi muncul selamanya. Kita sungguh merasa kehilangan. Rasanya ada sesuatu yang hampa di halaman di mana biasanya rubrik Rampai Sang Pujangga.

Suatu kali saya hampir pingsan membaca Rampai Hasan Junus. Dengan judul "Ombak" Rampai tersebut nampaknya khusus sebagai bentuk apresiasi Sang Pujangga terhadap buku kumpulan esai saya, Membaca Ombak yang diberi Kata Pengantar oleh sastrawan Goenawan Mohamad. Saya sungguh merasa tersanjung. Sebuah karya tulis, menurut Hasan Junus, mendapat tempat yang terhormat kalau ada seseorang yang terilhami atau inspire par karya itu. Dan buku Membaca Ombak nampaknya berhasil memancing Sang Pujangga menoleh. Tidak hanya sekedar menoleh, dia pun memberi petuah agar saya mengambil teladan dari sosok leluhur Melayu, Demang Lebar Daun, mertua Raja Sri Tri Buana. Demang Lebar Daun memposisikan diri sebagai wakil rakyatnya untuk membuat kontrak sosial pertama di alam Melayu. Sang Raja dan mertua yang mewakili rakyat bersepakat untuk saling setia. Bahkan Demang Lebar Daun menegaskan, sebagaimana ditulis Hasan Junus, apabila dari keturunannya melakukan kesalahan, hukumlah. Kalau kesalahannya besar dan sepadan untuk dibunuh, maka boleh dibunuh, tapi sekali-sekali jangan dipermalukan.

Demang Lebar Daun itu pulalah kemudian yang menjadi judul buku kumpulan esai saya setelah Membaca Ombak. Buku tersebut sebenarnya sebuah buku kumpulan esai biasa, namun menjadi kenangan tak terlupakan ketika diberi judul Demang Lebar Daun, yang dipilih atas restu Hasan Junus. Dan buku tersebut secara khusus pula diberi Kata Pengantar oleh Sang Pujangga. "Hanya Anda yang boleh menggunakan judul Demang Lebar Daun, karena Anda Demang Lebar Daun masa kini" kata Sang Pujangga bergurau. Ketika itu (2007) saya memang masih menjabat sebagai wakil rakyat dengan posisi Ketua DPRD Provinsi Riau.

Kini "Paus Sastra Indonesia" itu telah berangkat dengan lambaian mesra meninggalkan aroma harum mewangi yang melekat pada nama, karya sastra dan kenangan indah yang ditorehkannya. Selamat jalan Signor, ci vediamo.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun