Mohon tunggu...
Drh. Chaidir, MM
Drh. Chaidir, MM Mohon Tunggu... profesional -

JABATAN TERAKHIR, Ketua DPRD Provinsi Riau Periode 1999-2004 dan Periode 2004-2008, Pembina Yayasan Taman Nasional Tesso Nillo 2007 s/d Sekarang, Pembina Politeknik Chevron Riau 2010 s/d sekarang, Ketua Dewan Pakar DPD Partai Demokrat,Riau 2009 s/d 2010, Wakil Ketua II DPD Partai Demokrat Riau 2010 s/d 2015, Anggota DPRD Tk I Riau 1992 s/d 1997, Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPRD Tk I Riau 1993 s/d 1998, Ketua Komisi D DPRD Tk. I Riau 1995 s/d 1999, Ketua DPRD Provinsi Riau 1999 s/d 2004, Ketua DPRD Provinsi Riau 2004 s/d 2008, Wakil Ketua Asosiasi Pimpinan DPRD Provinsi se-Indonesia 2001 s/d 2004, Koordinator Badan Kerjasama DPRD Provinsi se-Indonesia Wilayah Sumatera 2004 s/d 2008, Pemimpin Umum Tabloid Serantau 1999 s/d 2000, Pemimpin Umum Tabloid Mentari 2001 s/d 2007, Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA Pusat)AJB Bumiputera 1912 2006 s/d 2011, Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 (Pusat)2010 s/d 2011, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jurusan Ilmu Pemerintahan UIR Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Luar Biasa FISIPOL Jur Ilmu Komunikasi Univ Riau Pekanbaru 2009 s/d sekarang, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi DWIPA Wacana 2011

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Puisi untuk Rakyat

12 November 2012   00:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:36 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh drh Chaidir

KHALIFAH Umar bin Khattab memberi nasihat, "Ajarkan sastra pada anak-anakmu, agar anak yang pengecut jadi pemberani." Ungkapan itu sangat menarik, tetapi saya tak menemukan konteks yang pas kecuali bahwa sastra Arab di masa itu sering berhubungan dengan semangat kepahlawanan. Kenapa Umar bin Khattab memberi apresiasi tinggi kepada sastra? Aisyah r.a. bahkan menyebut secara lebih spesifik, "Ajari anak-anak puisi sejak dini." Kenapa mesti puisi, bukan ilmu aljabar? Adakah karena aljabar bukan sastra, sedangkan puisi adalah genre sastra? Dengan demikian menulis puisi berarti menjadikan anak-anak pemberani?

Sastrawan seakan memang dilahirkan memiliki keberanian berlebih dalam penggunaan kata-kata. Mereka tak pernah takut salah dalam meramu kata-kata, dan tak pernah merasa khawatir kendati kata-katanya setajam sembilu dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Penulis puisi sering disebut penguasa kata-kata, dan dalam wilayah singgasana kekuasaannya itu, menurut Sutardji Calzoum Bachri, sastrawan tak bisa diminta pertanggung jawabannya. Barangkali karena kebebasan dan keberanian berekspresi itu, maka sastrawan menjadi seorang pemberani atau dikenal pemberani. Sastrawan tak pernah ada beban dalam memanfaatkan kelebihannya mengungkapkan bahasa-bahasa sastra, mereka seakan tak punya saraf takut sama sekali.

Kalau logikanya demikian, maka Umar bin Khattab dan Aisyah r.a. tak berlebihan dengan tesisnya. Lihatlah beberapa pujangga kita, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Asrul Sani, WS Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Gunawan Mohamad, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, dan lain-lain. Mereka tak pernah gentar melawan kekuasaan dan ketidak adilan. Adakalanya mereka dikucilkan, dipenjara, tapi mereka tak peduli.

Tradisi itulah agaknya yang hendak dipertontonkan nanti malam oleh sejumlah sastrawan Riau dalam bentuk Malam Baca Puisi di Arena Purna MTQ Pekanbaru sebagai bentuk solidaritas atas aksi kekerasan yang dialami oleh Didik, wartawan Riau Pos dalam musibah jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 di Desa Pasir Putih, Kampar, Riau, pada 16 Oktober 2012 lalu. Sastrawan yang ambil bagian antara lain tercatat Rida K Liamsi, Mustamir Thalib, Edi Ahmad RM, Fedli Azis, Kuni Masrohanti, Fakhrunnas MA Jabbar, Hang Kafrawi, Syaukani El Karim, Kazzaini KS, Prof Yusmar Yusuf, dan lain-lain. Semuanya nama-nama terbilang.

Sastrawan Riau, negeri pujangga, menggeliat terbangun dari hibernasi. Kezaliman dan kesewenang-wenangan memang harus dilawan. Hukum harus ditegakkan, pembiaran tak boleh terjadi. Didik tak boleh dikorbankan, juga Letkol Robert Simanjuntak, keduanya tak lebih penting dari rakyat daerah umumnya, yang sering jadi korban salah urus sistemik akibat nafsu angkara murka. Kita lupa sumpah moyang, "raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah." Kita tunggu agenda sastrawan Riau berikutnya, baca puisi untuk rakyat.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun