Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik

Blok Historis dan Geng Politik

20 Maret 2021   16:40 Diperbarui: 20 Maret 2021   18:13 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antonio Gramsci dan Abid Takamingan (Dokpri)

MENGENANG pemikiran Antonio Gramsci, dalam bukunya gagasan-gagasan politik. Gramsci yang adalah pemikir Itali, menyebut blok historis 'rintangan sejarah'. Menurutnya ada hubungan antara partai revolusioner dan rakyat, serta bahaya birokrasi membawa pada persoalan tentang watak dan peran partai revolusioner.

Pada kesempatan terpisah, di Kota Manado, Aba Abid Takalamingan politisi senior yang juga Ketua BAZNAS Provinsi Sulawesi Utara, saat berdiskusi sambil ngopi dengan sejumlah Aktivis Muslim Sulut melontarkan istilah geng politik. Sekira tahun 2020, gagasan Aba Abid membuat nalar intelektualku kembali aktif. 

Bagiku sosok Gramsci dan Aba Abid meski terpaut jauh usianya. Tapi gagasan bermutu mereka berdua begitu menggoda kaum intelektual. Mereka menyodorkan pilihan kata yang radikal maknanya. Blok historis dan geng politik. Melalui tulisan ini, aku mencoba memotretnya. Tentu disadari tidak sekomprehensif yang mereka ketahui. Ini sekedar upaya merevitalisasi pikiran tercerahkan.

Paling tidak, Aba AT begitu beliau akrab disapa memberikan uraian tentang bagaimana membangun harmonisasi dan kekuatan politik. Aba AT menelisik pentingnya relasi 'perkawanan' dibangun dalam ranah politik. Politisi harus mapan, baik relasi, ekonomi, kecerdasan, kedewasaan dan juga pengalaman. 

Sembari politisi juga harus keluar dari sekat-sekat kepentingan politik. Sekilas dari penjelasan Aba AT, putra Sulawesi Utara itu membangun analogi dan skema politik yang visioner. Beliau berikhtiar untuk mengangkat kepermukaan pentingnya politik nilai. Bahwa gerakan terorganisir (kolektif) penting digagas.

Melalui diskursus gerakan sosial 'social movement', diksi geng politik yang diusung Aba AT menjadi kekuatan perekat 'cohesive force'. Artinya, semua politisi, pekerja sosial, semua manusia bisa mengambil perannya masing-masing.

Tapi ada semacam 'konsensus moral' yang perlu dijaga. Gambarannya bisa seperti 'konsorsium' yang dibangun atas kesadaran bersama. Kesadaran yang betul-betul kesadaran untuk membangun peradaban kemanusiaan.

Dengan begitu, benturan kepentingan dan perang-perang sentimen politik tak akan mempan menghantam geng politik ini. Para praktisi politik tidak harus dan wajib berada dalam partai politik tertentu. Semua bisa menyebar, terdistribusi secara merata.

Untuk kepentingan universal, mereka terikat. Terpanggil bersama, saling menunjang dan tidak saling mereduksi kemampuan masing-masing pihak. Kebebasan untuk memilih dimana tempat memulai berjuang diberikan seluasnya.

Berbeda di partai politik misalnya, bukan berarti membuat politisi bermusuhan. Namun bisa menguji kemampuan jangkauan dan ekspansi gerakannya bekerja untuk orang banyak, lalu istiqomah. Peta jalan ini begitu penting dibangun.

Inilah gagasan besar yang perlu mendapat sentuhan. Tidak perlu bertindak global. Bertindak domestik saja, dengan dasar pemikiran yang global. Semua grand narasi itu dapat dijawab. Jika dimulainya visi humanis tersebut, kita Insya Allah tidak akan lagi melihat orang-orang yang alergi dengan perbedaan.

Ketika Gramsci mewanti-wanti agar kita tidak terbentur dalam sejarah pertarungan kepentingan yang diskriminatif. Aba AT, memasang alarm mengingatkan, juga menarik kita. Beliau menyelamatkan, mengajukan gagasan integrasi dalam rangka melahirkan kesadaran bersama. Bahwa berbeda bukan berarti berlawanan atau bermusuhan.

Perbedaan mungkin hanya pada hal teknis metode semata. Substansinya akhir dari yang kita tuju ialah sama yakni kemajuan. Sebuah tatanan sosial yang 'tamadun'. Pada bagian lain, pilihan ini membuat kita aktivis sosial politik tidak sektarian. Tidak parsial dari berfikir dan juga bertindak.

Kita akan lebih iklusif. Tidak tertutup, kaku maupun menjadi fanatik buta terhadap sebuah perubahan, perbedaan. 'Gang politik' bukan diinterpretasi secara politik praktis semata. Atau lebih parah jika diartikan buruk, seolah-olah menjadi instrumen konspirasi kepentingan yang kotor.

Sederhananya 'geng politik' menjadi semacam nafas, membongkar kebekuan konflik politik. Memutus mata rantai manuver atau kasak-kusuk politik gelap. Perang kepentingan politik yang gaduh tak berkesudahan, juga akan terpangkas disini. Melalui geng politiklah, gerakan moral perkawanan ditumbuhkan. Persamaan, kebersamaan, kekeluargaan, larut didalamnya. Dikonkritkan dengan tindakan nyata 'saling menghidupkan'. Geng politik bukan dikonotasikan secara negatif.

Geng politik bukanlah politik dinasti. Bukan juga politik oligarki, politik sentralistik lainnya. Melainkan menjadi jalan alternatif untuk menghidupkan rasionalitas bagi semua pihak. Baik bagi politisi, aktivis pemuda, tokoh agama, budayawan-seniman dan tokoh masyarakat. Geng politik menjadi jalur damai. Bukan ruang perang baru.

Menjadi benang yang mengikis sumbatan komunikasi. Disini pula, Aba AT berusaha memanifestasikan apa yang dipesankan Sam Ratulangi dalam falsafah 'Si tou timou tumou tou'. Melalui geng politik kita menemukan iklum yang kondusif, sejuk, damai, tapi produktif dan berkualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun