Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hanya Jokowi yang Independen

23 Februari 2021   15:31 Diperbarui: 23 Februari 2021   15:34 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi (Dok Theconversation.com)

INDEPENDEN itu sesuatu yang berdiri sendiri. Mandiri tanpa kepentingan ketergantungan. Jauh dari yang namanya intervensi. Independensi itu kebebasan bersikap, tanpa takut dikooptasi dan didikte pihak manapun. 

Posisinya vertikal, tidak takluk pada kekuatan di atasnya yang mendominasi. Tidak ada penindasan yang ditemuinya pada sesuatu yang disebut independen itu.

Kecuali ia berpotensi menindas. Karena kekuatannya melampaui sesuatu yang dependen. Terhadap sesuatu yang bersifat interdependen tetaplah pupus dihadapan sesuatu yang disebut independen. Dalam tafsir bernegara, sebetulnya hanya Presiden yang bersifat independen.

Selain Presiden, tidak ada lagi. Kenapa Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi label independen?, begitu pula KPU atau Bawaslu. 

Serta ragam lembaga lain yang 'menjual' citra independen. Semuanya kamuflase. Tidak benar dan pembohongan. Prakteknya lembaga-lembaga itu tidak independen.

Di atas lembaga-lembaga tersebut bertahta kewenangan Presiden. Artinya, MK, KPK, KPU, Bawaslu, DKPP dan yang lainnya tidak independen. Kalau independen diartikan secara serampangan, boleh jadi. Namun bila diinterpretasi dalam konteks kafha, maka batal independensinya. Sebab, dalam eksistensi lembaga-lembaga ini bertanggung jawab atau kepada Presiden.

Tuan mereka Presiden. Kalau dibuatkan serupa mata rantai, lembaga-lembaga tersebut ke Presiden dan Presiden kepada rakyat. Pemilik independensi seharusnya adalah rakyat. 

Sehingga atas nama kepentingan rakyat, seharusnya independensi lembaga-lembaga itu dapat didelegitimasi. Bukan malah lembaga yang secara simbolik independen ini yang menganiaya atau membodohi rakyat.

Mereka berposisi layaknya Tuan. Lantas rakyat dibalik keberadaannya sebagai budak. Sungguh tidak masuk logika bernegara sama sekali. Siapa Tuan siapa pembantu atau budak, dipertentangkan secara telanjang. Akhirnya kita dapat menarik kesimpulan, jika soal proses demokrasi dalam ajang politik, maka yang bertanggung jawab adalah Presiden.

Kenapa demokrasi rusak, ya karena Presiden tidak beres. Itu saja, singkatnya. Tidak usah lagi beretorika lebih, karena ketika kita menarik benang merahnya sangat muda ditemukan. 

Misalnya, soal hasil Pilkada Serentak 2020 dipersoalkan ke MK. Sangat kecil kemungkinan gugatan itu dimenangkan MK. Dimana, bilapun benar terjadi kecurangan dari KPU saat rekapitulasi suara. Itu akan berangsur terkait dengan MK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun