Mencupkan, membuka seluas-luasanya 'kamar' untuk koreksi perbaikan. Bahwa dalam tulisannya tidak ada yang lengkap. Tidak sempurna. Menulis berarti ia menampilkan beberapa alternatif pikiran. Hanya beberapa saja, tidak semua. Jika semua diulasnya, tentu pembaca menjadi jengkel membacanya.
Panjang pendeknya karya tulis, menjadi ukuran bagi kesenangan pembaca. Ada pembaca yang marah-marah di dalam hatinya saat membaca tulisan kita. Sebaliknya pula, ada yang tersenyum gembira. Sebagiannya pula ada yang sinis, menganggap remeh dan berkesimpulan tulisan kita produk pemikiran yang gagal.
Macam jenislah penilaian itu datang. Dan kita harus menerimanya dengan lapang dada. Begitulah keunikannya dunia literasi. Pemikiran yang kita aliri lewat tulisan tak mampu memberi jaminan kepuasan pembaca. Alakadarnya saja disajikan. Soal respon baik dan buruk, itu haknya pembaca. Tidak perlu kita pusingkan.
Rene Descartes, filsuf Prancis menyebut 'aku berfikir maka aku ada', cugito ergo sum. Pesan itu dikembangkan, diadaptasi menjadi cribo ergo sum, aku menulis makan aku ada. Melalui tulisan kecil ini, kita membaca betapa kuatnya kekuatan pikiran yang diaktualisasikan melalui tulisan. Menulis adalah alat perjuangan bagi orang yang ulet berfikir.
Membaca sama seperti melawan. Lalu menulis sebagai kerja menciptakan perubahan. Para penulis punya kiat masing-masing. Salah satu diantaranya, terdapat empat kekuatan dahsyat bagi seorang penulis, diantaranya kekuatan pikiran, perkataan, perasaan dan perbuatan. Semua penulis yang mengerti pasti berikhtiar melestarikan, mengamalkan kebaikan di dalam ulasannya melalui aktivitas keseharian.