Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Buanglah Sampah di Mulut Koruptor

13 Juli 2020   06:09 Diperbarui: 13 Juli 2020   09:11 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengingat bagi koruptor (Foto: bukalapak.com/u/sekigawa)

Praktek pejabat publik yang merugikan masyarakat luas tidaklah sedikit. Kalau kita menelisik beberapa kejadian, di antaranya penyalahgunaan kekuasaan berupa intervensi, intimidasi dan korupsi cukup membuat rugi publik. Hak pejabat publik berlebihan dipakai, kadang mereka tidak membedakan hak dan batil. Semua menjadi campur baur.

Hal kecil saja berkaitan dengan penggunaan asset kantor, berupa mobil dinas, barang kantoran lainnya sering dipakai pejabatan publik untuk kepentingan pribadinya. Hal itu dianggap mungkin tidak seberapa efeknya, tapi bila kita berkomitmen melakukan perubahan dan membangun profesionalitas, praktek itu menganggapu kemdirian para pejabat publik.

Boleh dikata, cara serupa telah masuk kategori korupsi. Di mana hak pejabat tersebut dimanfaatkan berlebihan sehingga menggilas, mencuri hak-hak publik. Belum lagi dalam urusan proyek misalnya, ada potongan fee (biaya) berpa jatah-jatahan yang diplot untuk pejabat. Para kontraktor tentu sangat mahfum dalam urusan yang satu ini.

Ada proyek yang diijon atau bayar di depan. Ketentuan aturannya tidak semestinya hal begitu dilakukan, alhasil pengerjaan proyek pembangunan infrastruktur selalu melahirkan masalah. Tidak taat aturan, menyalahi prosedur akhirnya dan sangat disayangkan lagi menjadi lading korupsi. Realitas yang ditemukan tidak sedikit proyek pembangunan menyeret pejabat publik ke ranah hukum.

Pejabat publik di daerah seperti Kepala Daerah, sampai mereka yang memegang jabatan publik di tingkat nasional nyaris memiliki 'pergumulan' yang sama yakni bermasalah dengan menggunaan hak dan kewajibannya. Semestinya kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, di Provinsi Sulawesi Utara dan spesifik lagi di Kota Manado menjadi alarm keras bagi pejabat publik untuk mengatur ulang sikapnya.

Agar apa? tentu agar dirinya tidak terbawa gelombang praktek korupsi. Dalam rangka mewujudkan praktek berdiri pada haknya yang sebenarnya adalah pejabat publik harus tegak lurus pada aturan. Jangan berkompromi dengan godaan duit besar yang bukan menjadi haknya. Bekerja secara adil dan transparan, tidak berperilaku seperti pencuri yang mengetahui sesuatu yang bukan miliknya ia ambil.

Seperti apapun yang disembunyikan, perilaku curang dan culas akan diketahui kelak. Mungkin saat menjabat posisi strategis seperti Kepala Daerah publik belum mampu mengungkap kejahatan korupsi yang dilakukan, kemudian orang-orang disekitaran pejabatan tersebut juga solid dan menjadi loyal dalam pembelaannya. Tapi bila pejabat publik telah lengser, selesai periodesasi kepemimpinannya, pasti kejahatan yang dilakukan terungkap.

Bahkan yang menyakitkan hati, korupsi yang dilakukan akan diungkap orang-orang dekatnya. Lalu setelahnya nanyian tuding-menuding akan meramaikan publik, hingga para penegak hukum mendapati tersangka dan pelaku intelektual (intellectual dader). Sampai pada titik 'maling teriak maling' mengemuka di media massa. Saat dirinya menguji kemampuan, pasti tidak lagi ampuh seperti disaat dirinya menjabat sebagai pemimpin publik. Di sinilah petaka bagi kaum koruptor datang.

Maka layaklah masyarakat membuang sampah di mulut para koruptor. Sampah apa itu?, bukan sampah kering atau sampah basah saja. Lebih mulia lagi sampah-sampah yang penuh bau namun ada sisi pencerahannya, membuat para koruptor taubat sekaligus mendapat ilham dari kejadian yang mereka lakukan.

Mereka para koruptor itu sampah peradaban. Karena melalui praktek melakukan yang dilakukan itu melahirkan pesan buruk terhadap edukasi publik. Mereka merusak nalar publik, dan parahnya lagi masih merasa tidak bersalah. Senyum angkat tangan dan menyapa publik saat diboyong ke penjara, betapa tidak punya malunya mereka para koruptor itu.

Kejahatan luar biasa yang meraka lakukan, sayangnya dianggap sebagai panggung biasa dan hanya sekedar meminta maaf. Kerakusan itu membuat mereka pandai berpura-pura di ruang publik, tapi mereka lupa yang terlukai adalah keluarganya, dan masyarakat Indonesia umumnya. Hak publik dicuri, koruptor lebih kejam dari teroris sebetulnya. Dari sisi merugikan publik koruptor lebih efektif merugikan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun