Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tumpukan "Sampah" dalam Sistem Zonasi

8 Juli 2020   06:58 Diperbarui: 8 Juli 2020   11:26 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ancaman sistem pendidikan (Foto: Baramasyudra)

Terjadinya perubahan kurikulum dan regulasi dalam tiap pergantian kepemimpinan nasional membuat sistem yang mulai mapan dijalankan masyarakat kacau-balau. Terlebih dalam bidang pendidikan kita di Indonesia. Proses rekonseptualisasi sistem membuat banyak penyesuaian harus dilakukan.

Energi masyarakat tersedot, pemerintah pun akhirnya harus 'merugi' dengan menata ulang sistem dengan konsekuensi anggaran tinggi. Alhasil kecenderungan pendidikan kita bukan berorientasi meningkatkan kualitas siswa atau mahasiswanya, tapi lebih pada komersialisasi pendidikan. Kemandirian coba dikonstruksi pemerintah, dilain pihak masyarakat kita belum siap.

Misalkan saja penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi. Program ini boleh saja bermaksud melahirkan kesejajaran dan keadilan bagi tiap sekolah untuk mendapatkan kuota siswa yang bisa setara kuantitasnya. Namun, problem lainnya bermunculan yakni sekolah yang dianggap 'Favorit' bagi masyarakat menjadi rebutan. Bahkan dalam situasi ini berposisi tidak akomodatif lagi terhadap siswa berprestasi.

Dalam beberapa pengamatan di lapangan, ditemukan pihak sekolah akhirnya mengeluarkan prodak kebijakan dispensasi. Kepala Sekolah yang terbiasa menerima 'titipan', semacam proyek tahunan penerimaan mahasiswa baru makin berpikir keras karena sistem online yang digunakan sebagai basis penerimaan mahasiswa baru. Sistem zonasi, melahirkan klaster baru di masyarakat.

Membatasi pula minat dan pilihan siswa dalam memilih sekolah yang menurut mereka terbaik. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah agar tidak sekadar mengubah-ubah regulasi. Melainkan bagaimana meningkatkan pembangunan sarana prasarana, pemerintah menyiapkan stok guru yang bermutu, disiplin tinggi, punya kecakapan yang memadai, bukan sebaliknya.

Tidak mudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat soal system zonase atau dalam istilah pandemi COVID-19 kita sebut klaster. Meski interpretasinya zonasi lebih pada konteks melahirkan keadilan, memposisikan bahwa semua sekolah itu statusnya sama. Bisa menjadi favorit, berkualitas dan sama-sama punya peluang berkembang. Tapi secara umum, sistem zonasi membatasi kebebasan memilih.

Bayangkan saja jika di daerah tertentu yang hanya memiliki sekolah yang sumber dayanya jauh dari harapan masyarakat. Kualitas gurunya rendah, disiplinnya jauh dari disiplin di sekolah unggulan, fasilitas sekolahnya belum tersedia, dan ragam ketidaksediaan faktor penunjang lainnya, hanya karena sistem zonasi siswa 'terpaksa' harus bersekolah disitu. Ini namanya pemaksaan kehendak.

Resiko yang ditimbulkan beragam, para siswa jadi tidak bersemangat saat sekolah. Target pemerintah mewujudkan sebanyak-banyaknya 'sekolah favorit' yang ada malah penurunan nilai yang didapat. Bisa bermacam-macam motifnya, sekolah tidak maksimal memainkan perannya, kemudian para siswa menjadi tidak terlayani dengan baik untuk proses edukasi belajar mengajar.

Bertambahlah problem pendidikan. Pemerintah bukan mengurangi beban kebodohan yang muncul, melainkan menambah deretan kebodohan yang lahir dari institusi pendidikan. Kejahatan dalam lini tertentu bisa bangkita akibat sumbangsih zonasi tersebut. 

Siswa yang punya harapan masuk di sekolah fovorit karena aksesnya jauh tak mendapatkan peluang itu. Ada kebijakan semacamnya untuk siswa berprestasi masuk ke sekolah yang dinilai berprestasi melalui standar memperlihatkan atau memasukkan nilai yang menjadi simbol 'prestasinya'. Berupa sertifikat penghargaan, sayangnya tidak semua siswa berprestasi diterima di sekolah yang dituju tersebut. Terutama di SMP dan SMA.

Hal yang sebetulnya mudah, tetapi dibuatkan menjadi rumit oleh pemerintah. Koreksi serius yang dituju dalam catatan kali ini adalah kebijakan merubah-rubah system atau kurikulum nyaris tiap tahunnya dilakukan. Ini menjadi bahaya dalam usaha kita memajukan lembaga pendidikan. Yang penting dipikirkan dan dilakukan yaitu mengoptimalkan sistem yang tengah berjalan, bukan merombak lagi system pendidikan yang mulai mengakar, mapan di masyarakat.

Betapa hancurnya nanti setiap pergantian Menteri kebijakan baru lagi dibuat. Begitu seterusnya skenario ganti-mengganti itu diterapkan, hasilnya apa? Pemerintah tidak pernah selesai mengurus Pekerjaan Rumahnya. Konsentrasi meraih kualitas pendidikan, yang dijalani malah kesibukan merubah aturan dan sistem pembelajaran. Padahal memaksimalkan apa yang telah ada (sistem dan regulasi) menjadi lebih penting.

Sistem zonasi boleh saja menjadi pintu masuk bagi praktek menurunkan kualitas pendidikan. Betapa tidak, bila nantinya sekolah favorit di satu sisi tidak menjadi favorit lagi. Selain itu, sistem zonasi berhasil memutasikan perhatian para siswa berprestasi dari sekedar peran sekolah ke peran siswa itu sendiri. Bisa juga terjadi semacam eksodus yang direkaya, karena orang tua siswa, ada yang dengan segala cara memaksakan anaknya masuk ke sekolah favorit.

Praktek rekayasa pun dilakukan dengan membuat Surat Pindah atau Surat Keterangan domisili. Hal tersebut dimaksudkan agar calon siswa dalam identifikasi zona, bisa masuk ke sekolah yang ditujunya. Gejala ini hampir terjadi di tiap daerah, seperti di Kota Manado pun indikasi itu terjadi. Dengan niat tak mau mengecewakan anak-anak mereka, orang tua murid tidak segan melakukan apa saja. Mencari koneksi sampai mencari makelar (penghubung), memberikan suap juga tak segan mereka lakukan. Asalkan anak-anak tersayangnya masuk sekolah favorit.

Rantai tipu-tipu dan praktek tidak jujur pun masih tumbuh subur. Tentu pemerintah tidak mengharapkan hal yang demikian. Terima atau tidak, secara otomatis efek yang dimunculkan dari sistem zonasi yang dibuat pemerintah membuahkan hasil salah satunya seperti itu. Begitu memiriskan, ini ancaman serius dalam penyanderaan lahirnya kualitas pendidikan di Indonesia. Potret buram pendidikan kita berdampak sistematik.

Beregenerasi dari waktu ke waktu, jika sistem zonasi masih dijalankan. Sistem ini punya plus-minus, lebih banyak minusnya, lebih banyak melahirkan kendala di masyarakat. Untuk itu, bila mau dipertahankan pemerintah melalui Kementerian atau Dinas terkait melakukan sosialisasi peraturan kepada masyarakat. Pengetahuan atau informasi terkait hal ini masih tersumbat di area elit, sehingga banyak masyarakat yang belum mengerti sistem zonasi tersebut.

Belum lagi ada dugaan kuat praktek calo dan pilih kasih dari sekolah tertentu di saat penerimaan mahasiswa baru. Kemauan siswa untuk masuk ke sekolah yang mereka pilih menjadi terhalang. Dalam situasi tersebut pemerintah dengan instrument lengkapnya harus perkuat pengawasan, berantas prakter percaloan. Sistem menggunakan koneksi juga masih didapati masyarakat. Bagi masyarakat sekolah tidak boleh mendiskriminasi mereka.

Ekspektasi masyarakat itu tidak sejalan pada akhirnya. Faktanya sistem zonasi yang mengandalkan pendaftaran online (teknologi) menjadi 'jalan' dalam mengeksekusi dan meloloskan para siswa yang mendaftar ke sekolah. Jika dilacak, ada juga praktek penyimpangan yang dilakukan operator dan penerima berkas yang secara manual masih diberlakukan. Antara kebijakan dan kebijaksanaan dibuat, mungkin dengan pertimbangan kemanusiaan.

Yang perlu diantisipasi adalah jangan sampai sistem ini menutup akses bagi siswa yang dari kalangan masyarakat tidak mampu. Sekolah tidak boleh melahirkan jarak dan sekat antara siswa kaya Vs siswa miskin, melainkan bagaimana membagi secara adil, merata serta proporsional kuota siswa. Tanpa melakukan pembedaan yang akhirnya berujung tidak protes. Jangan memakai sistem zonasi untuk kepentingan menyelundupkan para siswa yang punya koneksi, siswa yang orang tuanya kaya raya ke sekolah favorit, lalu yang lainnya dilepas di sekolah 'buangan'.

Apa jadinya nanti jika stakeholder pendidikan tidak dipercaya masayarakat? Maka sekolah alternatif yang dibuat masyarakat menjadi solusinya. Karena peran pemerintah diantaranya juga menjaga kepercayaan dan reputasi kelembagaan pendidikan, bukan memikirkan kepentingan sendiri. Harus dideteksi jangan sampai sistem zonasi menjadi alat efektif untuk 'membunuh' semangat siswa dalam mengembangkan minat dan bakatnya. Kita perlu ketat mengawasi jangan sampai kiblat pendidikan mengarah pada proses kapitalisasi yang makin menggila.

Seolah-olah ada tumpukan sampah dalam sistem zonasi yang dibuat pemerintah saat ini. Sampah yang tidak buang pada tempatnya, akhirnya menjadi penyakit. Sumber penebar virus yang mengganggu lingkungan. Pemerintah pasti dalam sikon ini mempunyai barometer evaluasinya, namun secara kasat mata terbaca sistem ini rasanya tidak akomodatif. Dalam prakteknya begitu mendiskriminasi masyarakat. Harusnya sistem yang dipakai mengakomodasi masyarakat, bukan membatasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun