Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pembajak Bencana dan Bandit Politik

16 Juni 2020   10:13 Diperbarui: 17 Juni 2020   07:51 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bandit perusak demokrasi (Dok. Fahri)

Ada oknum dan pihak pemburu kepentingan. Mereka yang terbiasa memanfaatkan situasi, mengambil kesempatan di tengah kesempitan. Kondisi darurat kesehatan di Indonesia jangan dipandang satu sisi saja. Kegusaran rakyat, rasa was-was dan bahkan melahirkan kepanikan, membuat banyak pihak tidak rasional melihat situasi objektif.

Alhasil, gejala dan peristiwa yang perlu dipandang dengan persepsi menyeluruh menjadi tidak dipelajari dengan selektif. Hasilnya, tak jarang kedaruratan membawa petaka. Boleh jadi akan terlahir kedunguan massal. Atau kalau tidak, anggap saja publik menjadi abai dengan hal-hal yang sebelumnya dinilai substansi, urgen, sacral, dan berdampak luas. Menyebabkan kita tidak lagi berfikir sehat (rasional).

Kewarasan di era pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) seperti terdegradasi. Nalar terbelengguh, ditutupi tirai, menjadi misterius dan rahasia. Misalkan saja contoh kecil soal dana operasional pencegahan dan penanganan Covid-19 di daerah, besarannya tidak transparan di buka ke publik. Estimasi anggaran yang diperuntukkan membeli APD, Alkes dan Sembako untuk mengantisipasi kemiskinan rakyat, jarang kita temui detailnya disampaikan ke media massa.

Realitas yang serba social distancing ini boleh saja dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Para pengusaha APD, Alkes dan penumpuk atau pengusaha yang senang memonopoli Sembako sebelum wabah Covid-19, tentu diuntungkan. Mereka mendapatkan kesempatan emas disaat Covid. Dimana semua orang di era pendemi memandang dinamika interaksi dengan standar dan perspektif ''kedaruratan''.

Walau hal-hal darurat itu belum terlihat nyata dan total dalam hal penanganan pemerintah. Kelihatannya lebih besar pasak dari pada tiang. Maksudnya, isu yang besar dan intens disiarkan media tentang situasi darurat kesehatan, sampai rakyata disuru stay at home. Tidak sebanding dengan program pemerintah untuk mencegah penyakit menular Covid-19 ini.  

Distribusi isu, hegemoni media massa terhadap isu pendemi rupanya berjalan massif. Sehingga framingnya efektif, sebagian rakyat menjadi gelisah dan terganggu aktivitas sosialnya. Dapatkah pemerintah melakukan pertemuan sektoral, melibatkan Dewan Pers dan organisasi pers lainnya untuk melahirkan formulasi tentang model, siklus pemberitaan di era Covid-19?. Sajian informasi Covid yang massif juga mengganggu ketenangan publik.

 Para pembajak bencana tentu ada disekitar kita. Mereka aktif memainkan irama, mengambil manfaat (keuntungan). Sudah pasti mereka senang ketika rakyat panik, membeli dan mempercayai apa saja yang diprovokasi. Kondisi ini mesti dinetralkan, direcovery pemerintah. Jangan pemerintah hadir malah berposisi seperti support ketidaknyamanan publik.

Kita berharap pemerintah tidak hadir menyulut dan memacu ketakutan kepada rakyat. Pemerintah menenangkan, memberi solusi agar rakyat tak gusar menyikapi situasi di tengah pandemi Covid-19. Praktek Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan, ancaman pengangguaran meningkat.

Diksi Presiden Jokowi tentang 'berdampingan dengan Covid-19' juga dapat ditafsir sebagai warning betapa hebatnya pendemi. Dari upaya melawan menjadi 'bersahabat' berdampingan dengannya. Padahal kalau kita menyadari itu, memang selama ini kita telad berdampingan dengan pandemi, penyakit dan ancaman bahaya. Maka dapat dipastikan, ungkapan melawan Covid-19 merupakan sikap offensive.

Pemerintah Indonesia seperti salah strategi diawal. Akhirnya kini rubah siasat, beralih dari menyerang menjadi devensive. Mungkin dapat ditafsir ini soal taknis, tapi minimal menjadi pelajaran tentang sikap. Kedepan tak boleh lagi pemerintah menjadi inkonsisten. Dalam teori penanganan masalah, harusnya pemerintah mengajarkan rakyat soal sikap istiqamah (berpendirian kuat). Sikap tidak fokus hanya membuang-buang waktu.

Sejatinya pemerintah harus melakukan pengembangan (development) ekonomi, sembari mengendalikan meluasnya wabah Covid-19. New normal hanya sekedar membawa kesan, menjadi pintu masuk pelaksanaan Pilkada Serentak dilaksanakan 2020. Terlampau politis dan mudah terbaca. Kebijakan dan keputusan pemerintah lebih dominan mengarah pada manuver politik. Bukan berpangkal pada keselamatan rakyat dan kemanusiaan.

Jadinya tidak berkorelasi, antara darurat kesehatan dan pelaksanaan Pilkada Serentak. Sebelumnya, keseriusan pemerintah menghentikan penyebaran Covid-19 telah terukur dari berapa besaran bantuan sosial dan dana tunai yang diberikan kepada rakyat. Di permukaan walaupun penyaluran bantuan tidak ada tender seperti mega proyek lainnya, tapi cara pendistribusiannya juga menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Tanpa kita mengulas lebih rinci. Dapat terbaca bahwa bagi Kepala Daerah, terutama petahana yang akan bertarung di Pilkada 2020, mereka sangat diuntungkan secara politik. Implikasinya kampanye terselubung menjadi garapan mereka. Pembajak kepentingan rakyat pun tidak sedikit. Mereka senang ketika masyarakat work from home, padahal tidak semua rakyat Indonesia dapat mengakses teknologi.

Para pebisnis digital pasti mendapat kecimpratan keuntungan disini. Segala hal urusan publik pun mulai dijalankan dengan pendekatan virtual (digital) atau media daring, sehingga kontak fisik hanya terlihat bersifat door to door. Rakyat diminta menghindari kerumunan. Mau tidak mau, suka dan tidak suka, mereka yang gaptek harus belajar menyukai teknologi. Disitulah kita menjadi pemberi manfaat bagi para kapitalis.

Rakyat yang tengah sulit, malah dikapitalisasi. Dieksploitasi keberadaan mereka, rakyat yang harusnya menjadi subyek kebijakan dilemahnya menjadi sekedar obyek yang pasif. Inilah kesalahan kebijakan yang serius. Bandit politik tentu tak hilang akal meski pandemi, mereka kompetitor Pilkada akan punya keyakinan politik tersendiri untuk menang.

Baik petahana dan non-petahana punya kalkulasi meraih kemenangan. Meski rakyat terhimpun, meminta kemanusiaan di dahulukan, tapi pemerintah telah pamer egonya untuk mengutamakan Pilkada (politik). Sekarang gilirannya rakyat, jika ikut Pilkada silahkan, piliah ada ditangan rakyat. Jika menolak Pilkada, lalu Golput juga semua kembali kepada pribadi-pribadi kita. Semua pilihan tersebut sah secara demokrasi. Yang paling utama yaitu tak ada intervensi dari siapapun.

Karena pemerintah telah memaksakan kehendak, tentu rakyat juga bisa lakukan apa yang sesuai seleranya. Anggap saja pemerintah mulai pongah, apatis dengan masukan rakyat sehingga hanya mau menjalakan apa yang sesuai desakan kepentingannya saja. Ada batasnya, karena demokrasi kita tidak mengatur sistem pemerintahan yang absolud. Dibatas itulah kita kenal dengan istilah HAM.

Kebebasan rakyat tak boleh diambil alih pemerintah. Para bandit politik yang bermunculan di tengah pandemi rupanya punya imun kuat untuk memainkan atau membodohi rakyat. Mereka merasa segala urusan ini gampang diatur, apalagi para bandit ini berperan sebagai Bandar politik. Padahal tidak semua dapat mereka atur secara mudah, tanpa keluar suar lelah.

Rakyat boleh buat hitung-hitungan sendiri. Semoga kehadiran bandit politik yang mau mengdendalikan Pilkada Serentak mendapat murka Allah SWT. Kita berikhtiar supaya misi menjalankan praktek menghalalkan segala cara dihinakan Allah SWT. Mereka yang merusak demokrasi, sama saja merusak rakyat sendiri. Sehingga hukumnya mereka layak diberi pelajaran oleh rakyat. Insya Allah bukan tuyul dan robot yang memilih di Pilkada Serentak 9 Desember 2020.  

Tak dapat disangkal, bencana juga sering dibajak. Dan mereka para pemilik modal, yang punya simpanan duit berlimpah biasa mendapat faedah disaat bencana. Bencana dikomersialkan atau juga dijadikan proyek, atas nama kemanusiaan, mereka mengeksploitasi sesama manusia. Jadinya bencana yang membawa hikmah bagi mereka oknum-oknum tak bernurani. Rakyat kebanyakan yang kesusahan, mereka malah memanfaatkan situasi mengambil keuntungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun