Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik dan Selera Makan

11 Mei 2020   01:38 Diperbarui: 11 Mei 2020   17:49 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik bicara soal kekuasaan. Setelahnya, bagaimana mensejahterakan rakyat. Selera makan itu muaranya soal perut. Ya, tentu berkaitan dengan selera makan rakyat. Tentu penuh sentiment dan saling usik, bila politik enggan melahirkan selera makan rakyat. Artinya, kalau rakyat miskin mereka pasti berontak pada pemerintah.

Bahkan harga diri rakyat dapat menjadi taruhannya. Satu-satunya cara bertahan hidup adalah harus berkompetisi. Menghajar, kalau tidak maka dihajar. Begitu siklusnya dalam ruang kompetisi. Politik memang selalu menemui isu dan tema-tema baru. Senasib dengan selera makan. Seseorang yang terbiasa makan menu (hidangan) tertentu, pasti sulit menggantinya dalam waktu cepat.

Kalau mau mengganti sekalipun, mereka butuh adaptasi. Politik juga begitu adanya. Standar nilai, kebiasaan politisi atau masyarakat yang gemar berpolitik tapi tidak masuk parpol, tentu punya identitas dan ciri khas khusus dalam mengidentifikasi gayanya dalam urusan politik. Mereka yang pragmatis dan ideologis tentu berbeda tendensinya.

Catatan kecil ini terinspirasi dari tulisan Bang Doktor Herman Oesman, seorang Sosiolog dari kampus Muhammadiyah Maluku Utara yang mungulas soal ''Nasi Kuning, Rempah dan Identitas Kebangsaan'' yang diterbitkan Lefo.id, Minggu 10 Mei 2020. Tulisan tersebut disajikan begitu enak untuk dibaca. Sejumlah impresi ditemukan, sehingga kemudian, beberapa menit setelah membacanya saya terpikir untuk menulis.

Kita adalah apa yang kita makan, seperti itu kira-kira kutipan pembuka dari tulisan Bang Herman. Dalam teori behaveorisme menjelaskan bahwa perkembangan perilaku perilaku seseorang ditentukan melalui interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). Bagi politisi yang terbiasa mendidik pola pikirnya dengan hal praktis, maka cara-cara berpolitik instan akan menjadi gaya hidupnya.

Malas berusaha dan bekerja keras. Segala urusan, termasuk dalam merebut kemenangan politik akan ditempuh dengan menghalalkan segala cara. Asalkan ia menang dalam pertarungan, jalan baik maupun buruk bukan urusan utama baginya. Dalam benaknya adalah kemenangan. Ini soal karakter, tidak mudah merubahnya.  

Melalui perspektif perkembangan perilaku perihal selera makan juga bukan sesuatu yang given, lalu finish. Melainkan karena adaptasi, kebudayaan atau sesuatu hal yang dilakukan berulang-ulang. Berarti untuk mengubah selara makan, tentu masih boleh dilakukan. Ini hanya faktor kebiasaan saja. Banyak fakta yang kita temui, mereka yang mulanya makan ubi, nasi jagung dan nasi, pun akhirnya bisa makan pizza dan KFC.

Seterusnya juga begitu, tak da yang paten dan permanen dalam soal selera. Konteks politik juga sekiranya begitu. Ada yang misalkan militant di parpol berideologi nasionalis, akhirnya juga berpindah di parpol yang berideologi agama (religius). 

Serela dan kenyamanan menjadi bagian dominan yang bekerja disini. Politisi yang terbiasa bermesraan, nakal dan memainkan isu-isu sektarian, tentu tidak nyaman kalau hanya berada dalam ruang lingkup yang flat, jauh dari tantangan.

Tanpa ada pertentangan dan dinamika, mereka seperti mati. Itu benar adanya, meski sebagian juga ada politisi yang lebih nyaman dengan percakapan politik yang tanpa mau membentur-benturkan isu agama. Semua itu karena kebiasaan, kebutuhan serta terletak pada kepentingan. Keduanya, antara politik dan selera makan punya kemiripan.  

Berkaitan dengan selera yang universal, juga dalam konteks tertentu saling berkontradiksi. Selera berarti soal rasa, kita ambil contoh bagi penikmat kopi (minuman) juga tentu memiliki varian masing-masing. Misalnya di Manado, ada penikmat kopi yang terbiasa berburu kopi di kawasan Jalan Roda (Jarod). Mereka akan merasa tidak nyaman saat diajak ngopi di K8 (Rumah Kopi Delapan) Sario. Begitu pula dengan penikmat kopi K8, akan merasa berisik, ketika berada di Jarod.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun