Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi di Ambang Batas

9 Mei 2020   16:26 Diperbarui: 9 Mei 2020   18:36 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BERBAGAI pihak mulai memberi pandangan soal penguatan demokrasi. Tambal sulang, jahit ulang tentang gagasan demokrasi yang dianggap original Indonesia disampaikan. Itu semua dilakukan sebagai upaya memperkokoh demokrasi Indonesia. Demokrasi kita yang dibingkai dengan nama Pancasila. Seperti dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 dan juga terdapat dalam Pancasila. 

Sila ke-4 Pancasila jelas menyampaikan tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Membaca demokrasi Indonesia, haruslah dibaca secara holistik. Dari satu sila ke sila berikutnya, sehingga kemudian tak ada yang missing. Terlalu nampaknya kesenjangan dalam praktek demokrasi kita karena gagalnya kita mengartikulasi makna Pancasila.

Muaranya yang tidak lagi diikuti. Hal tersebut memicu mudharat datang dari praktek-praktek demokrasi yang terlarang. Praktek yang dilakukan keluar jalur, salah arah. Hasilnya, cita-cita demokasi kita menjauh dari tatapan mata kita. Tradisi demokrasi yang dimuliakan, disulap seperti sampah. Begitu rendahnya martabat demokrasi. Selain intrik dan saling telikung, demokrasi dalam prakteknya menghilangkan estetika.

Disamping itu, kekuatan modal jauh lebih membayang-bayangi deokrasi. Dan bahkan jauh lebih berbahaya kekuatannya dari upaya memajukan Negara. Karena kaum kapitalis tak lagi mampu dikendalikan dan dikontrol pemerintah. Demokrasi dituntun sekelompok orang ke abang batas, menuju kehancuran. Pemerintah kita didikte pemodal secara berulang. Tapi sayangnya, dikte dan selingkuh kepentingan itu dibiarkan berjalan.

Akhirnya, pembangunan akan rontok. Pemerintah tidak menjadikan lagi demokrasi sebagai kemewahan, tapi model. Kedepan bila terus-menerus begini pemimpin kita (Presiden dan Wakil Presiden), maka langkah terbaiknya mereka dipilih melalui lembaga DPR saja. Hilang beban mereka pada kaum kapitalis yang sering menginvestasikan modalnya dalam tiap momentum Pemilu (Pilpres). Bencana yang datang akibat bargaining itu adalah masyarakat dijadikan tumbal dalam pembangunan.

Demokrasi menjadi seperti toilet. Tempat dimana orang-orang membuang tinja. Terjadilah seperti itu, feses yang dilepas di tolet kotor tak terurus, tentu baunya mematikan. Hal yang sama bila para pemodal, melakukan hubungan gelap dengan penguasa (pemerintah) diatas kepentingan masyarakat yang suci. Tentu efeknya jatuh ke masyarakat juga, selain terabaikan kepentingan masyarakat, kesialan pun mengikuti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Masih ada peluang dan kesempatan kita menarik mundur, atau menghentikan sejenak laju demokrasi yang menuju kehancuran ini. Dengan cara apa? tentu melalui praktek positif. Menebar virus kebaikan, menjaga kewarasan dengan tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Menggunakan nurani dalam tiap dukungan kita terhadap program pemerintah. Yang salah kita katakana salah, tidak perlu diam dan menyimpan hal-hal yang salah soal kebijakan sekalipun.

Jangan dibiarkan bau busuknya feses demokrasi yang penuh korupsi menyengat. Karena akan membuat orang-orang disekitar sesak nafas, kena dampkanya. Lalu boleh saja, mereka keracunan. Demokrasi kita yang dihargai masyarakat ini harus disucikan lagi. Potong dominasi pemodal, investasi asing harus kita lawan. Berhentikan tontonan kemesraan pemerintah kita dengan para investor asing yang hanya mengeruk kekayaan alam kita.

Pembangunan tanpa etika, tak ramah lingkungan masih dilakukan. Mega proyek dilaksanakan, toh ujung-ujungnya dikomersilkan. Masyarakat tereksploitasi dari sistem permodalan asing, mereka menanam saham, kemudian masyarakat kita menjadi pekerjanya. Ditambah lagi, pekerja (buruh) kita kita mendapat penghormatan karena diberi gaji yang kecil. Tidak sebanding dengan buruh asing yang diberikan gaji besarannya beberapa kali lipat.

Kejahatan atas nama demokrasi juga dilakukan, fulgar. Diskriminasi bukan dilawan pemerintah kita saat masyarakat kecil menuntut keadilan. Anehnya, pemerintah Indonesia sendiri yang mempertunjukkan cara-cara diskriminasi terhadap masyarakat. Seharusnya pemerintah memproduksi regulasi yang menghargai hak-hak pekerja lokal.

Begitu pula dengan dasar praktek demokrasi kita jangan diruncungkan pada konflik politik terus-menerus lalu pemerintah melakukan pembiaran. Karena kalau konflik kepentingan dibiarkan yang mendapat manfaatnya adalah kaum pemodal yang rata-rata adalah pengusaha asing. Merekalah pemilik modal terbesar di negeri ini. Pemerintah punya andil menstabilkan situasi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun