Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik

Benarkah Indonesia Failed State, Siapa yang Salah?

30 Maret 2020   11:46 Diperbarui: 30 Maret 2020   14:44 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Amas Mahmud (Dokpri)

Perjuangan melalui proses literasi juga oleh sebagain kalangan dianggap hanya perjuangan yang biasa saja, karena tak lain hanya berupa demonstrasi kata-kata non-verbal semata. Padahal, kata-kata merupakan salah satu senjata propagandis rakyat pekerja dalam pertikaian teoritis. Karenanya merupakan bagian dari perjuangan secara keseluruhan. Ringkasnya, perjuangan melalui jalur literasi amatlah penting, cukup efektif mengubah kesadaran publik. 

Apalagi, hal ini dilakukan secara rutin dan disiplin.Bayangkan saja, ketika bentuk perjuangan kelas yang paling tinggi adalah perjuangan kelas dalam ranah politik, alurnya juga perlu literasi. Maka kata-kata merupakan senjata yang digunakan dalam perjuanagn politik itu. Itu sebabnya, perjuangan sejenis ini tak boleh diabaikan sama sekali.

Mengutip John Lewis, yang mengatakan manusia adalah aktor pembuat sejarah. Dalam segmentasi sosial aktual kita berhak berbeda pandangan terhadap argumentasi Lewis, karena dalam relasi kemanusiaan, intervensi Tuhan tentu saja terasa. Lihat saja, ada yang mendefenisikan Tuhanlah yang membuat sejarah manusia. 

Bisakah dibenarkan, bila manusia memiliki kemutlakan untuk bebas dalam keterkaitan dengan pembuatan sejarah, dan mempunyai kekuatan tanpa batas (absolut)?. Sampai pada pertanyaan ini, sepertinya sejarah dikemas melalui deskripsi aktivitas manusia dengan strata sosial dan atribut yang ada, boleh jadi sejarah dapat mengantar manusia untuk berperan sebagai spektrum serta jembatan bagi regenerasi kemanusiaan.

Selain itu, Louis Althusser berbeda pandangan, ia menggunakan analisis Marxisme-Leninis yang diadaptasi dari bacaan Tesis Communist Manifesto. Selanjutnya menjelaskan bahwa perjuangan kelas adalah motor sejarah. Althusser kemudian mempertanyakan, jika bahan mentah sejarah adalah sejarah sebelumnya, maka pandangan terkait manusia yang membuat sejarah, sebagaimana pernah dikemukakan Lewis adalah keliru. 

Bila disejajarkan dengan kondisi Indonesia, ternyata dalam kehidupan negeri ini kita diperhadapkan melaui masalah yang begitu rentan konflik, lihat saja hanya persoalan salah tafsir dan urusan menentuhkan hidup membuat manusia saling memusuhi antara sesamanya.

Banyaknya hal-hal kecil yang berpotensi memunculkan melapetaka bagi masyarakat di Negara ini, turut juga menyumbangkan dampak tersendiri terhadap konstruksi sosial masyarakat saat ini. Tindakan makar misalnya, perampasan dan pembonsaian hak hidup rakyat, kericuhan sosial yang nampaknya tidak diseriusi pemerintah, dan phatologi sosial lainnya. 

Disaat rakyat berteriak kelaparan, meminta keadilan dan perlindungan hukum, elit pemerintah masih terlihat sibuk dengan melakukan konspirasi demi kepentingan politiknya. Politik pengalihan (politik pencitraan), seperti reshuffle kabinet, rekayasa konflik, dramaturgi politik yang menjadi rentetan upaya pemerintah untuk melemahkan ingatan rakyatnya agar melupakan "dosa-dosa" sejarah produk pemerintah.

Lebih lanjut dalam interaksi politik modern, kartel politik (persekongkolan politik) pun menjadi langkah strategis bagi para pemburu kekuasaan untuk menduduki puncak dan mengejar target yang ingin mereka tuju. Antara pengusaha dan penguasa, antara pebisnis dan komprador, mereka merajut hubungan demi mengejar cita-cita menghegemoni masyarakat. 

Dengan begitu, posisi Negara berhasil mengalami mutasi sehingga rakyat dilupakan, Negara terlihat kehilangan kendali dalam mengontrol perjalanan pemerintahan. Keberpihakan kebijakan terhadap masyarakat masih belum jelas, kalaupun ada itu hanya ideal dalam penentuan program semata, namun realisasinya begitu mengecewakan.

Di Indonesia kini rakyat makin terhimpit dengan kebutuhan ekonomi. Kemiskinan melilit, ditambah lagi dengan skenario pemerintah yang merugikan rakyat dan berpihak pada pemodal. Lihat saja bermunculannya arus protes dan perlawanan dari masyarakat (kelompok peduli) serta terjadinya pergeseran konstelasi politik nasional. Targetnya apa?, tentu agar pemerintah benar-benar peduli pada nasib rakyatnya. Arah perjuangan negara pun bukan menuju para negara kesejahteraan (welfare state), jadinya. Malah melah, tertarik kebelakang menjadi seperti negara gagal (failed state). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun