Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Keteladanan Politik di Tengah Ujian

25 Desember 2019   10:30 Diperbarui: 25 Desember 2019   11:33 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Amas, Sekretaris KNPI Manado

Indonesia sedang berada di era open society, tapi terlahir dalam system tertutup (closed system). Transparansi dan proteksi publik hanya menjadi wacana yang dibatasi kewenangan formal. Tak akan mungkin masyarakat dapat mengawasi secara telanjang perjalanan kebijakan, problem dan persekongkolan yang dibangun dalam suatu sistem pemerintahan. Tetap saja ada batasnya. Semangat reformasi birokrasi juga terbukti belum mampu menorobos sekat arogansi birokrasi. Ada alasan, kerahasiaan kebijakan internal.

Kekuatan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pun cacat implementasi. Masih terhalang tembok birokrasi. Kalau mau dilacak, apa kendala seriusnya?. Maka, perlu perbaikan dari sistem politik kita. Kebijakan politik dari pemerintah harus dievaluasi. Kontrol dan keseimbangan dijalankan dengan baik. Masyarakat terbuka mesti dibekali dengan semangat pengelolaan pemerintahan yang terbuka. Yang terjadi tidak seperti itu adanya.

Praktek gratifikasi, percaloan dan diskriminasi masih berjalan dalam pelayanan publik kita. Bahkan polisi dan militer sebagai perangkat kekuasaan kadang dimanfaatkan untuk merepresif masyarakat. Hemat saya, perlu emansipasi dalam ranah politik. Biar sirkulasi pengkaderan, loyalitas terhadap struktur partai politik dan komitmen keberpihakan pada masyarakat berjalan beriringan.

Emansipasi politik terlahir karena masyarakat sadar bahwa kehidupan dan nasib mereka dipengaruhi oleh keputusan-keputusan politik. Artinya ketika masyarakat apatis dengan politik, maka harapan untuk perubahan dalam hidupanya menjadi hilang. Loyalitas dan keteladanan dalam berpolitik pun kini seperti mengalami degradasi. Bisa saja, penyebabnya karena para elit politik mulai kehilangan wibawa dan keteladanannya. Tak layak diteladani.

Sementara kita memerlukan adanya perbaikan terus-menerus (continuous improvement). Berarti kaderisasi partai politik perlu diperhatikan. Jangan lagi kepemimpinan partai politik dipegang kader itu-itu saja, karena kerabat, relasi dekat. Karena hutang budi politik, karena banyak duit, dan ''hubungan gelap lainnya'' jabatan gampang didapat. Mestinya, posisi kepemimpinan politik di partai politik disegarkan. Pertimbangan profesional, decision meker jangan itu-itu saja yang melanggengkan oligarki partai. Sebab, itu dapat menyumbat tumbuhnya kaderisasi.

Kerinduan kita tentang lahirnya pemimpin yang memiliki imparsial terhadap mereka yang dipimpinnya, kalau menjabat posisi tersebut saja ia rakus. Tentu tidak sesuai, berarti jawabannya pemimpin yang punya perlakuan adil itu hanya akan ditemukan dari mereka yang legowo atas rotasi kepemimpinan. Toh, kekuasaan bukan hak milik perorangan juga. Memunculkan loyalitas, mesti diawali dari kearifan dan bijaknya pemimpin.

Jangan berhayal kita punya pendukung loyal, kalau sebagai pemimpin saja kita merampas hak-hak dan kesempatan orang lain. Keteladanan menjadi sangat penting disini. Kita berobsesi melahirkan berikade loyalis, sedangkan kita sendiri gagal menjadi teladan bagi mereka. Itu sama halnya kita berilusi. Keteladanan itu membutuhkan tindakan nyata. Bukan memproduksi narasi, melainkan bagaimana pemimpin itu menginspirasi, punya penguasaan diri dan paling penting ia mau dipimpin.

Pemimpin juga harus bisa menjadi patner bagi mereka yang dipimpinnya. Pemimpin itu berasal dari rakyat, bukan berada diatas rakyat. Seperti itu pula kepemimpinan di partai politik. Ketika menghendaki ada keteladanan politik, maka pemimpin parpol tidak harus bersikap elitis, sombong dan haus kekuasaan. Loyalitas dan teladan dalam politik itu penting, ini indikator agar kekompakan dapat dimulai dari ruang-ruang interaksi politik.

Ketika tibalah pada skala luas bermasyarakat, para politisi telah terbiasa dengan suasana saling hormat. Bayangkan saja apa jadinya, bila ditengah masyarakat tak ada loyalitas, direduksinya keteladanan?, otomatis rusaklah tatanan bermasyarakat kita. Hilang kebersamaan, kita hidup sendiri-sendiri, hukum Negara akan diabaikan. Yang membuat hukum formal dimuliakan dan ditaati karena ditengah masyarakat masih ada loyalitas, masih adanya keteladanan. Jika itu telah tiada, pasti persatuan Indonesia tinggal nama.

Masyarakat akan saling memamerkan kesombongannya masing-masing. Tak ada yang mereka takuti lagi. Orang yang dihargai seperti pemuka agama, orang tua, para pemimpin karismatik harus diberikan posisi. Jangan demokrasi kita menyulap kondisi itu, sehingga secara gradual memunculkan pemimpin-pemimpin karbitan dalam politik. Para pemimpin yang punya pendukung loyal dan mewariskan keteladanan politik memang mulai jarang terlihat di Indonesia saat ini.

Keberadaan mereka di partai politik masih ada. Hanya saja, elit politik kita kurang memberi perhatian dan mereka kehilangan porsi dalam memberi pencerahan politik. Sebaiknya orbitkan lagi mereka. Para pemimpin seperti ini selalu tersisih dalam kepemimpinan politik nasional, karena mereka kurang bermanuver. Malas mencari perhatian pemimpin di partai politik misalnya. Melahirkan loyalitas dan keteladanan dalam politik, tidak mudah memang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun